BAB I
PENGETAHUAN DENGAN ILMU PENGETAHUAN
TELAAH FILOSOFIS
1. Filsafat
dan Filsafat Ilmu Pengetahuan
Sebelum
Metode Penelitian dengan pendekatan Kualitatif atau Metode Penelitian
Kualitatif, akan diuraikan terlebih dahulu apa Perbedaan Ilmu Pengetahuan Ilmiah
(Science) dengan Pengetahuan (Knowledge). Mengapa demikian ? Kedua
metode Penelitian baik kuantitatif maupun kualitatif digunakan untuk
mengembangkan Ilmu Pengetahuan Ilmiah (Science).
Oleh karena itu perlu diketahui terlebih dahulu apa itu Ilmu Pengetahuan Ilmiah
dan perbedaanya dengan Pengetahuan. Dengan dipahaminya Ilmu Pengetahuan Ilmiah
akan mempermudah memahami Metode Penelitian Ilmiah dan kaitan antara keduanya.
Berikut ini akan disinggung sedikit tentang Filsafat dan perbedaannya dengan
Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Secara
singkat dapat dikatakan Filsafat adalah
refleksi kritis yang radikal. Refleksi adalah upaya memperoleh pengetahuan
yang mendasar atau unsur-unsur yang hakiki atau inti. Apabila ilmu pengetahuan
mengumpulkan data empiris atau data fisis melalui observasi atau eksperimen,
kemudian dianalisis agar dapat ditemukan hukum-hukumnya yang bersifat
universal. Oleh filsafat hukum-hukum yang bersifat universal tersebut direfleksikan atau dipikir secara kritis dengan tujuan untuk mendapatkan unsur-unsur
yang hakiki, sehingga dihasilkan pemahaman yang mendalam. Kemudian apa
perbedaan Ilmu Pengetahuan dengan Filsafat. Apabila ilmu pengetahuan sifatnya taat fakta, objektif dan
ilmiah, maka filsafat sifatnya mempertemukan berbagai aspek kehidupan di
samping membuka dan memperdalam pengetahuan. Apabila ilmu pengetahuan objeknya dibatasi, misalnya Psikologi
objeknya dibatasi pada perilaku manusia saja, filsafat objeknya tidak dibatasi
pada satu bidang kajian saja dan objeknya dibahas secara filosofis atau
reflektif rasional, karena filsafat mencari apa yang hakikat. Apabila ilmu
pengetahuan tujuannya memperoleh data
secara rinci untuk menemukan pola-polanya, maka filsafat tujuannya mencari
hakiki, untuk itu perlu pembahasan yang mendalam. Apabila ilmu pengetahuannya
datanya mendetail dan akurat tetapi tidak mendalam, maka filsafat datanya tidak
perlu mendetail dan akurat, karena yang dicari adalah hakekatnya, yang penting
data itu dianalisis secara mendalam.
Persamaan dan
perbedaan antara Filsafat dan Agama adalah sebagai berikut. Persamaan antara
Filsafat dan Agama adalah semuanya mencari kebenaran. Sedang perbedaannya
Filsafat bersifat rasional yaitu sejauh kemampuan akal budi, sehingga kebenaran
yang dicapai bersifat relatif. Agama berdasarkan iman atau kepercayaan terhadap
kebenaran agama, karena merupakan wahyu dari Tuhan YME, dengan demikian
kebenaran agama bersifat mutlak.
Kajian
filsafat meliputi ruang lingkup yang disusun berdasarkan pertanyaan filsuf
terkenal Immanuel Kant sebagai berikut:
1) Apa yang dapat saya ketahui (Was kan ich wiesen)
Pertanyaan ini
mempunyai makna tentang batas mana yang dapat dan mana yang tidak dapat
diketahui. Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah suatu fenomena. Fenomena selalu dibatasi oleh ruang dan waktu. Hal ini
menjadi dasar bagi Epistomologi.
Eksistensi Tuhan bukan merupakan kajian Epistomologi karena berada di luar
jangkauan indera. Bahan kajian Epistomologi adalah yang berada dalam jangkauan
indera. Kajian Epistomologi adalah fenomena sedang eksistensi Tuhan merupakan
objek kajian Metafisika. Epistomologi meliputi: Logika Pengetahuan (Knowledge), Ilmu Pengetahuan Ilmiah (Science) dan Metodologi.
2) Apa yang harus saya lakukan (Was soll ich tun)
Pertanyaan ini
mempersoalkan nilai (values), dan
disebut Axiologi, yaitu nilai-nilai
apa yang digunakan sebagai dasar dari perilaku. Kajian Axiologi meliputi Etika atau nilai-nilai keutamaan atau
kebaikan dan Estetika atau
nilai-nilai keindahan.
3) Apa yang dapat saya harapkan (Was kan ich hoffen)
Pengetahuan
manusia ada batasnya. Apabila manusia sudah sampai batas pengetahuannya,
manusia hanya bisa mengharapkan. Hal ini berkaitan dengan being, yaitu hal yang ”ada”, misalnya permasalahan tentang apakah
jiwa manusia itu abadi atau tidak, apakah Tuhan itu ada atau tidak.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak terjawab oleh Ilmu Pengetahuan Ilmiah,
tetapi oleh Religi. Refleksi tentang Being
terbagi lagi menjadi dua, yaitu Ontologi
yaitu struktur segala yang ada, realitas, keseluruhan objek-objek yang ada, dan
Metafisika yaitu hal-hal yang berada
di luar jangkauan indera, misalnya jiwa dan Tuhan.
Bidang-bidang
kajian Filsafat, apabila digambarkan adalah sebagaimana bagan berikut:
BEING
EPISTOMOLOGI
AXIOLOGI
Gambar 1: Bidang Kajian Filsafat
Sumber: Noerhadi T. H. (1998) Diktat Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Pascasarjana Universitas Indonesia.
Selanjutnya
akan dibahas salah satu bidang kajian Filsafat, yaitu Filsafat Ilmu
Pengetahuan, karena bidang ini membahas hakekat ilmu pengetahuan ilmiah (science). Hakekat ilmu pengetahuan dapat
ditelusuri dari 4 (empat) hal, yaitu:
1) Sumber ilmu pengetahuan itu dari mana.
Sumber ilmu
pengetahuan mempertanyakan dari mana ilmu pengetahuan itu diperoleh. Ilmu
pengetahuan diperoleh dari pengalaman (emperi) dan dari akal (ratio).
Sehingga timbul faham atau aliran yang disebut empirisme dan rasionalisme.
Aliran empirisme yaitu faham yang menyusun teorinya berdasarkan pada empiri
atau pengalaman. Tokoh-tokoh aliran ini misalnya David Hume (1711-1776), John
Locke (1632-1704), Berkley. Sedang rasionalisme menyusun teorinya berdasarkan
ratio. Tokoh-tokoh aliran ini misalya Spinoza, Rene Descartes. Metode yang
digunakan aliran emperisme adalah induksi, sedang rasionalisme menggunakan
metode deduksi. Immanuel Kant adalah tokoh yang mensintesakan faham empirisme
dan rasionalisme.
Gambar 2 : David Hume, John Locke , dan
George Berkeley
Gambar 3 : Immanuel Kant
2) Batas-batas Ilmu Pengetahuan.
Menurut Immanuel
Kant apa yang dapat kita tangkap dengan panca indera itu hanya terbatas pada
gejala atau fenomena, sedang
substansi yang ada di dalamnya tidak dapat kita tangkap dengan panca indera
disebut nomenon. Apa yang dapat kita
tangkap dengan panca indera itu adalah penting, pengetahuan tidak sampai disitu
saja tetapi harus lebih dari sekedar yang dapat ditangkap panca indera.
Yang dapat kita
ketahui atau dengan kata lain dapat kita tangkap dengan panca indera adalah
hal-hal yang berada di dalam ruang dan waktu. Yang berada di luar ruang dan
waktu adalah di luar jangkauan panca indera kita, itu terdiri dari 3 (tiga) ide
regulatif: 1) ide kosmologis yaitu tentang semesta alam (kosmos), yang tidak
dapat kita jangkau dengan panca indera, 2) ide psikologis yaitu tentang psiche atau jiwa manusia, yang tidak
dapat kita tangkap dengan panca indera, yang dapat kita tangkap dengan panca
indera kita adalah manifestasinya misalnya perilakunya, emosinya, kemampuan
berpikirnya, dan lain-lain, 3) ide teologis yaitu tentang Tuhan Sang Pencipta
Semesta Alam.
3) Strukturnya.
Yang ingin
mengetahui adalah subjek yang memiliki kesadaran. Yang ingin kita ketahui
adalah objek, diantara kedua hal tersebut seakan-akan terdapat garis demarkasi
yang tajam. Namun demikian sebenarnya dapat dijembatani dengan mengadakan dialektika. Jadi sebenarnya garis
demarkasi tidak tajam, karena apabila dikatakan subjek menghadapi objek itu
salah, karena objek itu adalah subjek juga, sehingga dapat terjadi dialektika.
4) Keabsahan.
Keabsahan ilmu
pengetahuan membahas tentang kriteria bahwa ilmu pengetahuan itu sah berarti
membahas kebenaran. Tetapi kebenaran itu nilai (axiologi), dan kebenaran itu
adalah suatu relasi. Kebenaran adalah kesamaan antara gagasan dan kenyataan.
Misalnya ada korespondensi yaitu persesuaian antara gagasan yang terlihat dari
pernyataan yang diungkapkan dengan realita.
Terdapat 3 (tiga)
macam teori untuk mengungkapkan kebenaran, yaitu:
a) Teori Korespondensi, terdapat persamaan
atau persesuaian antara gagasan dengan kenyataan atau realita.
b) Teori Koherensi, terdapat keterpaduan
antara gagasan yang satu dengan yang lain. Tidak boleh terdapat kontradiksi
antara rumus yang satu dengan yang lain.
c) Teori Pragmatis, yang dianggap benar
adalah yang berguna. Pragmatisme adalah tradisi dalam pemikiran filsafat yang
berhadapan dengan idealisme, dan realisme. Aliran Pragmatisme timbul di Amerika
Serikat. Kebenaran diartikan berdasarkan teori kebenaran pragmatisme.
Untuk mengetahui penerapan 3
(tiga) macam teori tersebut pada bidang apa, periksa skema berikut ini.
Ilmu-ilmu Formal
|
Ilmu-ilmu Empiris Induktif
|
Ilmu-ilmu Terapan
|
|||
Deduktif:
Logika
Matematika
|
Alam
unorganik:
karang, batu, air.
|
Hayati:
Kehidupan
|
Sosial:
Manusia ber masyarakat
|
Budaya:
Manusia dengan ekspresinya
|
|
Ukuran kebenaran Koherensi
menghadapi rumusan-rumusan yang tidak
boleh kontradiksi satu sama lain
|
Ukuran kebenaran Korespondensi
kesesuaian antara gagasan dengan realita/antara gagasan dengan fakta.
|
Pragmatis
apa yang bermanfaat itu benar.
|
|||
Gambar 4: Penerapan Teori Korespondensi, Koherensi
dan Pragmatis.
Sumber: Noerhadi T. H. (1998) Diktat Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Pascasarjana Universitas Indonesia.
Ciri-ciri
Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Filsafat Ilmu
Pengetahuan merupakan cabang filsafat yang menelaah baik ciri-ciri ilmu
pengetahuan ilmiah maupun cara-cara memperoleh ilmu pengetahuan ilmiah.
Ciri-ciri Ilmu Pengetahuan Ilmiah adalah sebagai berikut:
1) Sistematis.
Ilmu pengetahuan
ilmiah bersifat sistematis artinya ilmu pengetahuan ilmiah dalam upaya
menjelaskan setiap gejala selalu berlandaskan suatu teori. Atau dapat dikatakan
bahwa teori dipergunakan sebagai sarana untuk menjelaskan gejala dari kehidupan
sehari-hari. Tetapi teori itu sendiri bersifat abstrak dan merupakan puncak
piramida dari susunan tahap-tahap proses mulai dari persepsi sehari-hari/
bahasa sehari-hari, observasi/konsep ilmiah, hipotesis, hukum dan puncaknya
adalah teori.
Ciri-ciri yang
sistematis dari ilmu pengetahuan ilmiah tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 5: Piramida
Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Sumber: Noerhadi T. H. (1998) Diktat Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Pascasarjana Universitas Indonesia.
a) Persepsi sehari-hari (bahasa sehari-hari).
Dari
persepsi sehari-hari terhadap fenomena atau fakta yang biasanya disampaikan
dalam bahasa sehari-hari diobservasi agar dihasilkan makna. Dari observasi ini
akan dihasilkan konsep ilmiah.
b) Observasi (konsep ilmiah).
Untuk
memperoleh konsep ilmiah atau
menyusun konsep ilmiah perlu ada definisi. Dalam menyusun definisi perlu
diperhatikan bahwa dalam definisi tidak boleh terdapat kata yang didefinisikan.
Terdapat 2 (dua) jenis definisi, yaitu: 1) definisi sejati, 2) definisi
nir-sejati.
Definisi
sejati dapat diklasifikasikan dalam:
1) Definisi
Leksikal. Definisi ini
dapat ditemukan dalam kamus, yang biasanya bersifat deskriptif.
2) Definisi
Stipulatif. Definisi ini
disusun berkaitan dengan tujuan tertentu. Dengan demikian tidak dapat
dinyatakan apakah definisi tersebut benar atau salah. Benar atau salah tidak
menjadi masalah, tetapi yang penting adalah konsisten (taat asas). Contoh
adalah pernyataan dalam Akta Notaris: Dalam Perjanjian ini si A disebut sebagai
Pihak Pertama, si B disebut sebagai Pihak Kedua.
3) Definisi
Operasional. Definisi ini
biasanya berkaitan dengan pengukuran (assessment)
yang banyak dipergunakan oleh ilmu pengetahuan ilmiah. Definisi ini memiliki
kekurangan karena seringkali apa yang didefinisikan terdapat atau disebut dalam
definisi, sehingga terjadi pengulangan. Contoh: ”Yang dimaksud inteligensi
dalam penelitian ini adalah kemampuan seseorang yang dinyatakan dengan skor tes
inteligensi”.
4) Definisi
Teoritis. Definisi ini
menjelaskan sesuatu fakta atau fenomena atau istilah berdasarkan teori
tertentu. Contoh: Untuk mendefinisikan Superego, lalu menggunakan teori
Psikoanalisa dari Sigmund Freud.
Definisi
nir-sejati dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
1) Definisi
Ostensif. Definisi ini
menjelaskan sesuatu dengan menunjuk barangnya. Contoh: Ini gunting.
2) Definisi
Persuasif. Definisi yang
mengandung pada anjuran (persuasif). Dalam definisi ini terkandung anjuran agar
orang melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Contoh: ”Membunuh adalah tindakan
menghabisi nyawa secara tidak terpuji”. Dalam definisi tersebut secara implisit
terkandung anjuran agar orang tidak membunuh, karena tidak baik (berdosa
menurut Agama apapun).
c) Hipotesis
Dari konsep ilmiah yang merupakan
pernyataan-pernyataan yang mengandung informasi, 2 (dua) pernyataan digabung
menjadi proposisi. Proposisi yang
perlu diuji kebenarannya disebut hipotesis.
d) Hukum
Hipotesis
yang sudah diuji kebenarannya disebut dalil atau hukum.
e) Teori
Keseluruhan
dalil-dalil atau hukum-hukum yang tidak bertentangan satu sama lain serta dapat
menjelaskan fenomena disebut teori.
2) Dapat dipertanggungjawabkan.
Ilmu pengetahuan
ilmiah dapat dipertanggungjawabkan melalui 3 (tiga) macam sistem, yaitu:
a) Sistem axiomatis
Sistem ini
berusaha membuktikan kebenaran suatu fenomena atau gejala sehari-hari mulai
dari kaidah atau rumus umum menuju rumus khusus atau konkret. Atau mulai teori
umum menuju fenomena/gejala konkret. Cara ini disebut deduktif-nomologis. Umumnya yang menggunakan metode ini adalah ilmu-ilmu
formal, misalnya matematika.
b) Sistem empiris
Sistem ini
berusaha membuktikan kebenaran suatu teori mulai dari gejala/ fenomena khusus
menuju rumus umum atau teori. Jadi bersifat induktif dan untuk menghasilkan
rumus umum digunakan alat bantu statistik. Umumnya yang menggunakan metode ini
adalah ilmu pengetahuan alam dan sosial.
c) Sistem semantik/linguistik
Dalam sistem
ini kebenaran didapatkan dengan cara menyusun proposisi-proposisi secara ketat.
Umumnya yang menggunakan metode ini adalah ilmu bahasa (linguistik).
3) Objektif atau intersubjektif
Ilmu pengetahuan
ilmiah itu bersifat mandiri atau milik orang banyak (intersubjektif). Ilmu
pengetahuan ilmiah itu bersifat otonom dan mandiri, bukan milik perorangan
(subjektif) tetapi merupakan konsensus antar subjek (pelaku) kegiatan ilmiah.
Dengan kata lain ilmu pengetahuan ilmiah itu harus ditopang oleh komunitas
ilmiah.
Cara
Kerja Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Cara kerja Ilmu
Pengetahuan Ilmiah untuk mendapatkan kebenaran oleh Karl Popper disebut Siklus
Empiris, yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 6: Siklus
Empiris
Sumber: Noerhadi T. H. (1998) Diktat Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Pascasarjana Universitas Indonesia.
Keterangan Gambar:
Gambar dapat dibedakan menjadi 2 (dua) komponen,
yaitu:
1) Komponen Informasi, yang terdiri dari:
a. Problem
b. Teori
c. Hipotesis
d. Observasi
e. Generalisasi Empiris
Komponen Informasi digambarkan dengan kotak.
2) Komponen langkah-langkah Metodologis, yang
terdiri 6 (enam) langkah metodologis, yaitu:
a. Inferensi logis
b. Deduksi logis
c. Interpretasi, instrumentasi, penetapan
sampel, penyusun skala.
d. Pengukuran, penyimpulan sampel, estimasi
parameter.
e. Pengujian hipotesis.
f. Pembentukan konsep, pembentukan dan
penyusunan proposisi.
Langkah Metodologis digambarkan dengan elips.
Penjelasan tentang langkah-langkah
Metodologis adalah sebagai berikut:
- Langkah pertama. Ada masalah yang harus dipecahkan. Seluruh langkah ini (5 langkah) oleh Popper disebut Epistomology Problem Solving. Untuk pemecahan masalah tersebut diperlukan kajian pustaka (inferensi logis) guna mendapatkan teori-teori yang dapat digunakan untuk pemecahan masalah.
- Langkah kedua. Selanjutnya dari teori disusun hipotesis. Untuk menyusun hipotesis diperlukan metode deduksi logis.
- Langkah ketiga. Untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis perlu adanya observasi. Sebelum melakukan observasi perlu melakukan interpretasi teori yang digunakan sebagai landasan penyusunan hipotesis dalam penelitian adalah penyusunan kisi-kisi/dimensi-dimensi, kemudian penyusunan instrumen pengumpulan data, penetapan sampel dan penyusunan skala.
- Langkah keempat. Setelah observasi, selanjutnya melakukan pengukuran (assessment), penetapan sampel, estimasi kriteria (parameter estimation). Langkah tersebut dilakukan guna mendapatkan generalisasi empiris (empirical generalization).
- Langkah kelima. Generalisasi emperis tersebut pada hakekatnya merupakan hasil pembuktian hipotesis. Apabila hipotesis benar akan memperkuat teori (verifikasi). Apabila hipotesis tidak terbukti akan memperlemah teori (falsifikasi).
- Langkah keenam. Hasil dari generalisasi empiris tersebut dipergunakan sebagai bahan untuk pembentukan konsep, pembentukan proposisi. Pembentukan atau penyusunan proposisi ini dipergunakan untuk memperkuat atau memantapkan teori, atau menyusun teori baru apabila hipotesis tidak terbukti.
Gambar 7 : Karl Popper
2. Beda Ilmu Pengetahuan dan Pengetahuan
a. Pendahuluan
Ilmu pengetahuan (science)
mempunyai pengertian yang berbeda dengan pengetahuan (knowledge atau
dapat juga disebut common sense). Orang awam tidak memahami atau tidak
menyadari bahwa ilmu pengetahuan itu berbeda dengan pengetahuan. Bahkan mugkin
mereka menyamakan dua pengertian tersebut. Tentang perbedaan antara ilmu
pengetahuan dan pengetahuan akan dicoba dibahas disini.
Mempelajari apa
itu ilmu pengetahuan itu berarti mempelajari atau membahas esensi atau hakekat
ilmu pengetahuan. Demikian pula membahas pengetahuan itu juga berarti membahas
hakekat pengetahuan. Untuk itu kita perlu memahami serba sedikit Filsafat Ilmu
Pengetahuan. Dengan mempelajari Filsafat Ilmu Pengetahuan di samping akan
diketahui hakekat ilmu pengetahuan dan hakekat pengetahuan, kita tidak akan
terbenam dalam suatu ilmu yang spesifik sehingga makin menyempit dan eksklusif.
Dengan mempelajari filsafat ilmu pengetahuan akan membuka perspektif (wawasan)
yang luas, sehingga kita dapat menghargai ilmu-ilmu lain, dapat berkomunikasi
dengan ilmu-ilmu lain. Dengan demikian kita dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan secara interdisipliner. Sebelum kita membahas hakekat ilmu
pengetahuan dan perbedaannya dengan pengetahuan, terlebih dahulu akan
dikemukakan serba sedikit tentang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan.
b. Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Mempelajari sejarah ilmu pengetahuan itu penting,
karena dengan mempelajari hal tersebut kita dapat mengetahui tahap-tahap
perkembangannya. Ilmu pengetahuan tidak langsung terbentuk begitu saja, tetapi
melalui proses, melalui tahap-tahap atau periode-periode perkembangan.
a)
Periode Pertama (abad 4 sebelum Masehi)
Perintisan “Ilmu pengetahuan” dianggap dimulai pada
abad 4 sebelum Masehi, karena peninggalan-peninggalan yang menggambarkan ilmu
pengetahuan diketemukan mulai abad 4 sebelum Masehi. Abad 4 sebelum Masehi merupakan abad terjadinya
pergeseran dari persepsi mitos ke persepsi logos, dari dongeng-dongeng ke
analisis rasional. Contoh persepsi mitos adalah pandangan yang beranggapan
bahwa kejadian-kejadian misalnya adanya penyakit atau gempa bumi disebabkan
perbuatan dewa-dewa. Jadi pandangan tersebut tidak bersifat rasional, sebaliknya
persepsi logos adalah pandangan yang bersifat rasional. Dalam persepsi mitos,
dunia atau kosmos dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan magis, mistis. Atau
dengan kata lain, dunia dijelaskan oleh faktor-faktor luar (eksternal). Sedang
dalam persepsi rasional, dunia dianalisis dari faktor-faktor dalam (internal).
Atau dengan kata lain, dunia dianalisis dengan argumentasi yang dapat diterima
secara rasional atau akal sehat. Analisis rasional ini merupakan perintisan
analisis secara ilmiah, tetapi belum dapat dikatakan ilmiah.
Pada
periode ini tokoh yang terkenal adalah Aristoteles. Persepsi Aristoteles
tentang dunia adalah sebagai berikut: dunia adalah ontologis atau ada (eksis).
Sebelum Aristoteles dunia dipersepsikan tidak eksis, dunia hanya menumpang
keberadaan dewa-dewa. Dunia bukan dunia riil, yang riil adalah dunia ide.
Menurut Aristoteles, dunia merupakan substansi, dan ada hirarki
substansi-substansi. Substansi adalah sesuatu yang mandiri, dengan demikian
dunia itu mandiri. Setiap substansi mempunyai struktur ontologis. Dalam
struktur ontologis terdapat 2 prinsip, yaitu: 1) Akt: menunjukkan prinsip kesempurnaan (realis); 2) Potensi: menunjukkan
prinsip kemampuannya, kemungkinannya (relatif). Setiap benda sempurna dalam
dirinya dan mempunyai kemungkinan untuk mempunyai kesempurnaan. Perubahan
terjadi bila potensi berubah, dan perubahan tersebut direalisasikan.
Gambar 8 : Aristoteles
Pandangan
Aristoteles yang dapat dikatakan sebagai awal dari perintisan “ilmu
pengetahuan” adalah hal-hal sebagai berikut:
1)
Hal Pengenalan
Menurut
Aristoteles terdapat dua macam pengenalan, yaitu: (1) pengenalan inderawi; (2)
pengenalan rasional. Menurut Aristoteles, pengenalan inderawi memberi
pengetahuan tentang hal-hal yang kongkrit dari suatu benda. Sedang
pengenalan rasional dapat mencapai hakekat sesuatu, melalui jalan abstraksi.
2)
Hal Metode
Selanjutnya, menurut Aristoteles, “ilmu pengetahuan”
adalah pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau hukum-hukum
bukan objek-objek eksternal atau fakta. Penggunaan prinsip atau hukum berarti berargumentasi (reasoning).
Menurut Aristoteles, mengembangkan “ilmu pengetahuan” berarti mengembangkan
prinsip-prinsip, mengembangkan “ilmu pengetahuan” (teori) tidak terletak pada
akumulasi data tetapi peningkatan kualitas teori dan metode.
Selanjutnya, menurut Aristoteles, metode untuk mengembangkan “ilmu pengetahuan”
ada dua, yaitu: (1) induksi intuitif yaitu mulai dari fakta untuk
menyusun hukum (pengetahuan universal); (2) deduksi (silogisme)
yaitu mulai dari pengetahuan universal menuju fakta-fakta.
b)
Periode Kedua (abad 17 sesudah Masehi)
Pada periode yang kedua ini terjadi
revolusi ilmu pengetahuan karena adanya perombakan total dalam cara berpikir.
Perombakan total tersebut adalah sebagai berikut:
Apabila Aristoteles cara berpikirnya
bersifat ontologis rasional, Gallileo Gallilei (tokoh pada awal abad 17
sesudah Masehi) cara berpikirnya bersifat analisis yang dituangkan dalam
bentuk kuantitatif atau matematis. Yang dimunculkan dalam
berfikir ilmiah Aristoteles adalah berpikir tentang hakekat, jadi
berpikir metafisis (apa yang berada di balik yang nampak atau apa yang
berada di balik fenomena).
Gambar
9 : Gallileo Gallilei
Abad 17
meninggalkan cara berpikir metafisis dan beralih ke elemen-elemen yang
terdapat pada sutau benda, jadi tidak mempersoalkan hakikat. Dengan demikian
bukan substansi tetapi elemen-elemen yang merupakan kesatuan sistem. Cara
berpikir abad 17 mengkonstruksi suatu model yaitu memasukkan unsur makro
menjadi mikro, mengkonstruksi suatu model yang dapat diuji coba secara
empiris, sehingga memerlukan adanya laboratorium. Uji coba penting, untuk
itu harus membuat eksperimen. Ini berarti mempergunakan pendekatan matematis
dan pendekatan eksperimental. Selanjutnya apabila pada jaman Aristoteles ilmu
pengetahuan bersifat ontologis, maka sejak abad 17, ilmu pengetahuan berpijak
pada prinsip-prinsip yang kuat yaitu jelas dan terpilah-pilah (clearly
and distinctly) serta disatu pihak berpikir pada kesadaran, dan
pihak lain berpihak pada materi. Prinsip jelas dan terpilah-pilah dapat dilihat
dari pandangan Rene Descartes (1596-1650) dengan ungkapan yang terkenal, yaitu Cogito Ergo Sum, yang artinya karena
aku berpikir maka aku ada. Ungkapan Cogito
Ergo Sum adalah sesuatu yang pasti, karena berpikir bukan merupakan
khayalan. Suatu yang pasti adalah jelas dan terpilah-pilah. Menurut Descartes
pengetahuan tentang sesuatu bukan hasil pengamatan melainkan hasil pemeriksaan
rasio (dalam Hadiwijono, 1981). Pengamatan merupakan hasil kerja dari indera
(mata, telinga, hidung, dan lain sebagainya), oleh karena itu hasilnya kabur,
karena ini sama dengan pengamatan binatang. Untuk mencapai sesuatu yang pasti
menurut Descartes kita harus meragukan apa yang kita amati dan kita ketahui
sehari-hari. Pangkal pemikiran yang pasti menurut Descartes dikemukakan melalui
keragu-raguan. Keragu-raguan menimbulkan kesadaran, kesadaran ini berada di
samping materi. Prinsip ilmu pengetahuan satu pihak berpikir pada kesadaran dan
pihak lain berpijak pada materi juga dapat dilihat dari pandangan Immanuel Kant
(1724-1808). Menurut Immanuel Kant ilmu pengetahuan itu bukan merupakan
pangalaman terhadap fakta saja, tetapi merupakan hasil konstruksi oleh rasio.
Gambar 10 : Rene Descartes
Agar dapat
memahami pandangan Immanuel Kant tersebut perlu terlebih dahulu mengenal
pandangan rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme mementingkan unsur-unsur
apriori dalam pengenalan, berarti unsur-unsur yang terlepas dari segala
pengalaman. Sedangkan empirisme menekankan unsur-unsur aposteriori,
berarti unsur-unsur yang berasal dari pengalaman. Menurut Immanuel Kant, baik
rasionalisme maupun empirisme dua-duanya berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan
bahwa pengenalan manusia merupakan keterpaduan atau sintesa antara unsur-unsur
apriori dengan unsur-unsur aposteriori (dalam Bertens, 1975). Oleh karena itu
Kant berpendapat bahwa pengenalan berpusat pada subjek dan bukan pada
objek. Sehingga dapat dikatakan menurut Kant ilmu pengetahuan bukan
hasil pengalaman saja, tetapi hasil konstruksi oleh rasio.
Inilah pandangan Rene Descartes dan
Immanuel Kant yang menolak pandangan Aristoteles yang bersifat ontologis dan
metafisis. Banyak tokoh lain yang meninggalkan pandangan Aristoteles, namun
dalam makalah ini cukup mengajukan dua tokoh tersebut, kiranya cukup untuk
menggambarkan adanya pemikiran yang revolusioner dalam perkembangan ilmu
pengetahuan.
c. Perbedaan Ilmu Pengetahuan dengan Pengetahuan
Terdapat beberapa
definisi ilmu pengetahuan, di antaranya adalah:
a) Ilmu pengetahuan adalah penguasaan
lingkungan hidup manusia.
Definisi ini tidak diterima
karena mencampuradukkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
b) Ilmu pengetahuan adalah kajian tentang
dunia material.
Definisi ini tidak dapat
diterima karena ilmu pengetahuan tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat
materi.
c) Ilmu pengetahuan adalah definisi
eksperimental.
Definisi ini tidak dapat
diterima karena ilmu pengetahuan tidak hanya hasil/metode eksperimental semata,
tetapi juga hasil pengamatan, wawancara. Atau dapat dikatakan definisi ini
tidak memberikan tali pengikat yang kuat untuk menyatukan hasil eksperimen
dan hasil pengamatan (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995).
d) Ilmu pengetahuan dapat sampai pada
kebenaran melalui kesimpulan logis dari pengamatan empiris.
Definisi ini mempergunakan
metode induksi yaitu membangun prinsip-prinsip umum berdasarkan berbagai hasil
pengamatan. Definisi ini memberikan tempat adanya hipotesa, sebagai
ramalan akan hasil pengamatan yang akan datang. Definisi ini juga mengakui
pentingnya pemikiran spekulatif atau metafisik selama ada
kesesuaian dengan hasil pengamatan. Namun demikian, definisi ini tidak bersifat
hitam atau putih. Definisi ini tidak memberi tempat pada pengujian
pengamatan dengan penelitian lebih lanjut.
Kebenaran yang
disimpulkan dari hasil pengamatan empiris hanya berdasarkan kesimpulan logis
berarti hanya berdasarkan kesimpulan akal sehat. Apabila kesimpulan tersebut
hanya merupakan akal sehat, walaupun itu berdasarkan pengamatan empiris, tetap
belum dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan tetapi masih pada taraf
pengetahuan. Ilmu pengetahuan bukanlah hasil dari kesimpulan logis dari
hasil pengamatan, namun haruslah merupakan kerangka konseptual atau teori
yang memberi tempat bagi pengkajian dan pengujian secara kritis oleh ahli-ahli
lain dalam bidang yang sama, dengan demikian diterima secara universal. Ini
berarti terdapat adanya kesepakatan di antara para ahli terhadap
kerangka konseptual yang telah dikaji dan diuji secara kritis atau telah
dilakukan penelitian atau percobaan terhadap kerangka konseptual tersebut.
Berdasarkan
pemahaman tersebut maka pandangan yang bersifat statis ekstrim, maupun yang
bersifat dinamis ekstrim harus kita tolak. Pandangan yang bersifat
statis ekstrim menyatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan cara menjelaskan
alam semesta di mana kita hidup. Ini berarti ilmu pengetahuan dianggap sebagai
pabrik pengetahuan. Sementara pandangan yang bersifat dinamis ekstrim
menyatakan ilmu pengetahuan merupakan kegiatan yang menjadi dasar munculnya
kegiatan lebih lanjut. Jadi ilmu pengetahuan dapat diibaratkan dengan suatu
laboratorium. Bila kedua pandangan ekstrim tersebut diterima, maka ilmu
pengetahuan akan hilang musnah, ketika pabrik dan laboratorium tersebut
ditutup.
Ilmu pengetahuan
bukanlah kumpulan pengetahuan semesta alam atau kegiatan yang dapat dijadikan
dasar bagi kegiatan yang lain, tetapi merupakan teori, prinsip, atau dalil yang
berguna bagi pengembangan teori, prinsip, atau dalil lebih lanjut, atau dengan
kata lain untuk menemukan teori, prinsip, atau dalil baru. Oleh karena itu,
ilmu pengetahuan dapat didefinisikan sebagai berikut:
Ilmu
pengetahuan adalah rangkaian konsep dan kerangka konseptual yang saling
berkaitan dan telah berkembang sebagai hasil percobaan dan pengamatan yang
bermanfaat untuk percobaan lebih lanjut (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995). Pengertian
percobaan di sini adalah pengkajian atau pengujian terhadap kerangka
konseptual, ini dapat dilakukan dengan penelitian (pengamatan dan wawancara)
atau dengan percobaan (eksperimen).
Selanjutnya John
Ziman menjelaskan bahwa definisi tersebut memberi tekanan pada makna manfaat,
mengapa? Kesahihan gagasan baru dan makna penemuan eksperimen baru atau juga
penemuan penelitian baru (menurut penulis) akan diukur hasilnya yaitu hasil
dalam kaitan dengan gagasan lain dan eksperimen lain. Dengan demikian ilmu
pengetahuan tidak dipahami sebagai pencarian kepastian, melainkan
sebagai penyelidikan yang berhasil hanya sampai pada tingkat yang
bersinambungan (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995).
Bila kita
analisis lebih lanjut perlu dipertanyakan mengapa definisi ilmu pengetahuan di
atas menekankan kemampuannya untuk menghasilkan percobaan baru, berarti juga
menghasilkan penelitian baru yang pada gilirannya menghasilkan teori baru dan
seterusnya – berlangsung tanpa berhenti. Mengapa ilmu pengetahuan tidak menekankan
penerapannya? Seperti yang dilakukan para ahli fisika dan kimia yang hanya
menekankan pada penerapannya yaitu dengan mempertanyakan bagaimana alam semesta
dibentuk dan berfungsi? Bila hanya itu yang menjadi penekanan ilmu pengetahuan,
maka apabila pertanyaan itu sudah terjawab, ilmu pengetahuan itu akan berhenti.
Oleh karena itu, definisi ilmu pengetahuan tidak berorientasi pada penerapannya
melainkan pada kemampuannya untuk menghasilkan percobaan baru atau
penelitian baru, dan pada gilirannya menghasilkan teori baru.
Para ahli fisika
dan kimia yang menekankan penerapannya pada hakikatnya bukan merupakan ilmu
pengetahuan, tetapi merupakan akal sehat (common sense). Selanjutnya
untuk membedakan hasil akal sehat dengan ilmu pengetahuan William James yang
menyatakan hasil akal sehat adalah sistem perseptual, sedang hasil ilmu
pengetahuan adalah sistem konseptual (Conant J. B. dalam Qadir C. A.,
1995). Kemudian bagaimana cara untuk memantapkan atau mengembangkan ilmu
pengetahuan? Berdasarkan definisi ilmu pengetahuan tersebut di atas maka
pemantapan dilakukan dengan penelitian-penelitian dan percobaan-percobaan.
Perlu
dipertanyakan pula bagaimana hubungan antara akal sehat yang menghasilkan
perseptual dengan ilmu pengetahuan sebagai konseptual. Jawabannya adalah akal
sehat yang menghasilkan pengetahuan merupakan premis bagi pengetahuan
eksperimental (Conant, J.B. dalam Qadir C.A., 1995). Ini berarti pengetahuan
merupakan masukan bagi ilmu pengetahuan, masukan tersebut selanjutnya diterima
sebagai masalah untuk diteliti lebih lanjut. Hasil penelitian dapat berbentuk
teori baru.
Sedangkan Ernest
Nagel secara rinci membedakan pengetahuan (common sense) dengan ilmu
pengetahuan (science).
Perbedaan tersebut
adalah sebagai berikut:
1) Dalam common sense informasi tentang
suatu fakta jarang disertai penjelasan tentang mengapa dan bagaimana.
Common sense tidak melakukan pengujian kritis hubungan
sebab-akibat antara fakta yang satu dengan fakta lain. Sedang dalam science
di samping diperlukan uraian yang sistematik, juga dapat dikontrol
dengan sejumlah fakta sehingga dapat dilakukan pengorganisasian dan
pengklarifikasian berdasarkan prinsip-prinsip atau dalil-dalil yang berlaku.
2) Ilmu pengetahuan menekankan ciri
sistematik.
Penelitian ilmiah bertujuan
untuk mendapatkan prinsip-prinsip yang mendasar dan berlaku umum tentang suatu
hal. Artinya dengan berpedoman pada teori-teori yang dihasilkan dalam
penelitian-penelitian terdahulu, penelitian baru bertujuan untuk menyempurnakan
teori yang telah ada yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sedang common
sense tidak memberikan penjelasan (eksplanasi) yang sistematis dari
berbagai fakta yang terjalin. Di samping itu, dalam common sense cara
pengumpulan data bersifat subjektif,
karena common sense sarat dengan muatan-muatan emosi dan perasaan.
3) Dalam menghadapi konflik dalam kehidupan,
ilmu pengetahuan menjadikan konflik sebagai pendorong untuk kemajuan ilmu
pengetahuan.
Ilmu pengetahuan berusaha
untuk mencari, dan mengintroduksi pola-pola eksplanasi sistematik sejumlah
fakta untuk mempertegas aturan-aturan. Dengan menunjukkan hubungan logis dari
proposisi yang satu dengan lainnya, ilmu pengetahuan tampil mengatasi konflik.
4) Kebenaran yang diakui oleh common sense
bersifat tetap, sedang kebenaran dalam ilmu pengetahuan selalu diusik oleh
pengujian kritis. Kebenaran dalam ilmu pengetahuan selalu dihadapkan pada
pengujian melalui observasi maupun eksperimen dan sewaktu-waktu dapat
diperbaharui atau diganti.
5) Perbedaan selanjutnya terletak pada segi
bahasa yang digunakan untuk memberikan penjelasan pengungkapan fakta. Istilah
dalam common sense biasanya mengandung pengertian ganda dan samar-samar.
Sedang ilmu pengetahuan merupakan konsep-konsep yang tajam yang harus dapat
diverifikasi secara empirik.
6) Perbedaan yang mendasar terletak pada
prosedur.
Ilmu pengetahuan berdasar pada metode ilmiah.
Dalam ilmu pengetahuan alam (sains), metoda yang dipergunakan adalah
metoda pengamatan, eksperimen, generalisasi, dan verifikasi. Sedang ilmu sosial
dan budaya juga menggunakan metode pengamatan, wawancara, eksperimen,
generalisasi, dan verifikasi. Dalam common sense cara mendapatkan
pengetahuan hanya melalui pengamatan dengan panca indera.
Gambar 11 :
Ernest Nagel
Dari berbagai uraian berdasarkan pandangan
tokoh-tokoh tersebut dapatlah dikatakan: ilmu pengetahuan adalah kerangka
konseptual atau teori uang saling berkaitan yang memberi tempat pengkajian dan
pengujian secara kritis dengan metode ilmiah oleh ahli-ahli lain dalam bidang
yang sama, dengan demikian bersifat sistematik, objektif, dan universal.
Sedang pengetahuan adalah hasil pengamatan
yang bersifat tetap, karena tidak memberikan tempat bagi pengkajian dan
pengujian secara kritis oleh orang lain, dengan demikian tidak bersifat
sistematik dan tidak objektif serta tidak universal.
d. Proses Terbentuknya Ilmu Pengetahuan
a) Syarat-syarat Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Agar dapat diuraikan proses terbentuknya
ilmu pengetahuan ilmiah, perlu terlebih dahulu diuraikan syarat-syarat ilmu
pengetahuan ilmiah.
Menurut Karlina Supeli Laksono dalam
Filsafat Ilmu Pengetahuan (Epsitomologi) pada Pascasarjana Universitas
Indonesia tahun 1998/1999, ilmu pengetahuan ilmiah harus memenuhi tiga syarat,
yaitu:
1) Sistematik; yaitu merupakan kesatuan
teori-teori yang tersusun sebagai suatu sistem.
2) Objektif; atau dikatakan pula sebagai
intersubjektif, yaitu teori tersebut terbuka untuk diteliti oleh orang
lain/ahli lain, sehingga hasil penelitian bersifat universal.
3) Dapat dipertanggungjawabkan; yaitu
mengandung kebenaran yang bersifat universal, dengan kata lain dapat diterima oleh
orang-orang lain/ahli-ahli lain. Tiga syarat ilmu pengetahuan tersebut telah
diuraikan secara lengkap pada sub bab di atas.
Pandangan ini sejalan dengan pandangan
Parsudi Suparlan yang menyatakan bahwa Metode Ilmiah adalah suatu kerangka
landasan bagi terciptanya pengetahuan ilmiah. Selanjutnya dinyatakan bahwa
penelitian ilmiah dilakukan dengan berlandaskan pada metode ilmiah. Sedangkan
penelitian ilmiah harus dilakukan secara sistematik dan objektif
(Suparlan P., 1994). Penelitian ilmiah sebagai pelaksanaan metode ilmiah harus
sestematik dan objektif, sedang metode ilmiah merupakan suatu kerangka bagi
terciptanya ilmu pengetahuan ilmiah. Maka jelaslah bahwa ilmu pengetahuan
juga mempersyaratkan sistematik dan objektif.
Sebuah teori pada dasarnya merupakan
bagian utama dari metode ilmiah. Suatu kerangka teori menyajikan cara-cara
mengorganisasikan dan menginterpretasi-kan hasil-hasil penelitian, dan
menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang dibuat sebelumnya. Jadi
peranan metode ilmiah adalah untuk menghubungkan penemuan-penemuan ilmiah dari
waktu dan tempat yang berbeda. Ini berarti peranan metode ilmiah melandasi
corak pengetahuan ilmiah yang sifatnya akumulatif. Dari uraian tersebut
di atas dapatlah dikatakan bahwa proses terbentuknya ilmu pengetahuan ilmiah
melalui metode ilmiah yang dilakukan dengan penelitian-penelitian ilmiah.
Pembentukan ilmu pengetahuan ilmiah pada
dasarnya merupakan bagian yang penting dari metode ilmiah. Suatu ilmu
pengetahuan ilmiah menyajikan cara-cara pengorganisasian dan penginterpretasian
hasil-hasil penelitian, dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang
dibuat sebelumnya oleh peneliti lain. Ini berarti bahwa ilmu pengetahuan ilmiah
merupakan suatu proses akumulasi dari pengetahuan. Di sini peranan metode
ilmiah penting yaitu menghubungkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah dari waktu
dan tempat yang berbeda. Walaupun dalam ilmu pengetahuan alam (sains) metode ilmiah menekankan metode
induktif guna mengadakan generalisasi atas fakta-fakta khusus dalam rangka
penelitian, penciptaan teori dan verifikasi, tetapi dalam ilmu-ilmu sosial,
baik metode induktif maupun deduktif sama-sama penting. Walaupun fakta-fakta
empirik itu penting peranannya dalam metode ilmiah namun kumpulan fakta itu
sendiri tidak menciptakan teori atau ilmu pengetahuan (Suparlan P., 1994). Jadi
jelaslah bahwa ilmu pengetahuan bukan merupakan kumpulan pengetahuan atau
kumpulan fakta-fakta empirik. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena
fakta-fakta empirik itu sendiri agar mempunyai makna, fakta-fakta tersebut
harus ditata, diklasifikasi, dianalisis, digeneralisasi berdasarkan metode yang
berlaku serta dikaitkan dengan fakta yang satu dengan yang lain.
Dalam ilmu-ilmu sosial prinsip objektivitas
merupakan prinsip utama dalam metode ilmiahnya. Hal ini disebabkan ilmu
sosial berhubungan dengan kegiatan manusia sebagai mahluk sosial dan budaya
sehingga tidak terlepas adanya hubungan perasaan dan emosional antara peneliti
dengan pelaku yang diteliti.
Untuk menjaga objektivitas metode ilmiah
dalam ilmu-ilmu sosial berlaku prinsip-prinsip sebagai berikut:
a) Ilmuwan harus mendekati sasaran kajiannya
dengan penuh keraguan dan skeptis.
b) Ilmuwan harus objektif yaitu
membebaskan dirinya dari sikap, keinginan, kecenderungan untuk menolak, atau
menyukai data yang dikumpulkan.
c) Ilmuwan harus bersikap netral,
yaitu dalam melakukan penilaian terhadap hasil penemuannya harus terbebas dari
nilai-nilai budayanya sendiri. Demikian pula dalam membuat kesimpulan atas data
yang dikumpulkan jangan dianggap sebagai data akhir, mutlak, dan merupakan
kebenaran universal (Suparlan P., 1994).
Sedang pelaksanaan penelitian yang
berpedoman pada metode ilmiah hendaknya memperhatikan ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:
a) Prosedur penelitian harus terbuka untuk
diperiksa oleh peneliti lainnya.
b) Definisi-definisi yang dibuat adalah benar
dan berdasarkan konsep-konsep dan teori-teori yang sudah ada/baku.
c) Pengumpulan data dilakukan secara
objektif, yaitu dengan menggunakan metode-metode penelitian ilmiah yang baku.
d) Hasil-hasil penemuannya akan ditentukan
ulang oleh peneliti lain bila sasaran, masalah, pendekatan, dan prosedur
penelitiannya sama (Suparlan P., 1994).
b)
Metode Penelitian Ilmiah
Pada dasarnya metode penelitian ilmiah
untuk ilmu-ilmu sosial dapat dibedakan menjadi dua golongan pendekatan, yaitu:
(1) pendekatan kuantitatif; (2) pendekatan kualitatif.
1)
Pendekatan Kuantitatif
Landasan berpikir dari pendekatan
kuantitatif adalah filsafat positivisme yang dikembangkan pertama kali oleh
Emile Durkheim (1964). Pandangan dari filsafat positivisme ini yaitu bahwa
tindakan-tindakan manusia terwujud dalam gejala-gejala sosial yang disebut
fakta-fakta sosial. Fakta-fakta sosial tersebut harus dipelajari secara
objektif, yaitu dengan memandangnya sebagai benda, seperti benda dalam ilmu pengetahuan
alam.
Gambar 12 : Emile Durkheim
Caranya dengan melakukan observasi atau
mengamati sesuatu fakta sosial, untuk melihat kecenderungan-kecenderungannya,
menghubungkan dengan fakta-fakta sosial lainnya, dengan demikian
kecenderungan-kecenderungan suatu fakta sosial tersebut dapat diidentifikasi.
Penggunaan data kuantitatif diperlukan dalam analisa yang dapat
dipertanggungjawabkan kesahihannya demi tercapainya ketepatan data dan
ketepatan penggunaan model hubungan variabel bebas dan variabel tergantung
(Suparlan P., 1997).
2)
Pendekatan Kualitatif
Landasan
berpikir dalam pendekatan kualitatif adalah pemikiran Max Weber (1997) yang
menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan hanya gejala-gejala sosial,
tetapi juga dan terutama makna-makna yang terdapat di balik tindakan-tindakan
perorangan yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial tersebut. Oleh karena itu, metode yang utama dalam
sosiologi dari Max Weber adalah Verstehen atau pemahaman (jadi bukan Erklaren
atau penjelasan). Agar dapat memahami makna yang ada dalam suatu gejala sosial,
maka seorang peneliti harus dapat berperan sebagai pelaku yang ditelitinya, dan
harus dapat memahami para pelaku yang ditelitinya agar dapat mencapai tingkat
pemahaman yang sempurna mengenai makna-makna yang terwujud dalam gejala-gejala
sosial yang diamatinya (Suparlan P., 1997).
Gambar
13 : Max Weber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar