PLURALISME AGAMA
(wildan diapari hasibuan)
DEFINISI PLURALISME AGAMA
Pluralisme
agama bisa dipahami dalam minimum tiga kategori. Pertama, kategori sosial. Dalam pengertian ini, pluralisme agama berarti
”semua agama berhak untuk ada dan hidup”. Secara sosial, kita harus belajar
untuk toleran dan bahkan menghormati iman atau kepercayaan dari penganut agama
lainnya. Kedua, kategori etika atau
moral. Dalam hal ini pluralisme agama berarti bahwa ”semua pandangan moral dari
masing-masing agama bersifat relatif dan sah”. Jika kita menganut pluralisme agama
dalam nuansa etis, kita didorong untuk tidak menghakimi penganut agama lain yang
memiliki pandangan moral berbeda, misalnya terhadap isu pernikahan, aborsi,
hukuman gantung, eutanasia, dll. Ketiga,
kategori teologi-filosofi. Secara sederhana berarti ”agama-agama pada
hakekatnya setara, sama-sama benar dan sama-sama menyelamatkan”. Mungkin
kalimat yang lebih umum adalah ”banyak
jalan menuju Roma”. Semua agama menuju pada Allah, hanya jalannya yang
berbeda-beda. Selanjutnya, dalam tulisan
ini, setiap kali kita menyebut pluralisme agama, yang dimaksudkan adalah
pluralisme agama dalam kategori teologi-filosofi ini.
FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PLURALISME AGAMA
Fundamentalisme
agama disertai dengan manifestasinya yang salah adalah racun berbahaya yang
sedang berkembang luas (ingat peristiwa 11/9). Walaupun demikian, saat ini pluralisme
agama sebagai ”lawannya” juga menjelma menjadi virus yang cepat menular. Pluralisme
agama kenyataannya makin populer di kalangan orang-orang yang beragama maupun
tidak beragama, berpendidikan tinggi maupun rendah, teolog maupun kaum awam. Di
kalangan Muslim, walaupun MUI sudah menyatakan pluralisme agama sebagai ajaran
yang haram untuk dianut, tetapi perkembangannya tampaknya terus melaju. Ada banyak
faktor yang mendorong orang untuk mengadopsi pluralisme agama. Beberapa faktor
yang signifikan adalah:
1. Iklim demokrasi
Dalam iklim demokrasi, kata toleransi memegang
peranan penting. Sejak kecil di negara
ini kita diajar untuk saling menghormati kemajemukan suku, bahasa dan agama.
Berbeda-beda tetapi satu jua. Begitulah motto yang mendorong banyak orang untuk
berpikir bahwa semua perbedaan yang ada pada dasarnya bersifat tidak hakiki. Beranjak
dari sini, kemudian toleransi terhadap keberadaan penganut agama lain dan
agama-agama lain mulai berkembang menjadi penyamarataan
semua agama. Bukankah semua agama mengajarkan kebaikan? Jadi, tidak masalah
Anda menganut yang mana!
2. Pragmatisme
Dalam konteks Indonesia maupun dunia yang penuh
dengan konflik horisontal antar pemeluk agama, keharmonisan merupakan tema yang
digemakan dimana-mana. Aksi-aksi ”fanatik” dari pemeluk agama yang bersifat
destruktif dan tidak berguna bagi nilai-nilai kemanusiaan membuat banyak orang
menjadi muak. Dalam konteks ini, pragmatisme bertumbuh subur. Banyak orang
mulai tertarik pada ide bahwa menganut pluralisme agama (menjadi pluralis) akan
lebih baik daripada seorang penganut agama tertentu yang ”fanatik”. Akhirnya,
orang-orang ini terdorong untuk meyakini bahwa keharmonisan dan kerukunan lebih
mungkin dicapai dengan mempercayai pluralisme agama daripada percaya bahwa
hanya agama tertentu yang benar. Yang terakhir ini tentu berbahaya bagi
keharmonisan masyarakat. Begitulah pola pikir kaum pragmatis.
3. Relativisme
Kebenaran itu relatif, tergantung siapa yang
melihatnya. Ini adalah pandangan yang populer, sehingga seorang tukang sapu pun
memahaminya. Dalam era postmodern ini
penganut relativisme percaya bahwa agama-agama yang ada juga bersifat relatif.
Masing-masing agama benar menurut penganutnya-komunitasnya. Kita tidak berhak
menghakimi iman orang lain. Akhirnya, kita selayaknya berkata ”agamamu benar
menurutmu, agamaku benar menurutku. Kita sama-sama benar”. Relativisme
agama seolah-olah ingin membawa prinsip win-win
solution ke dalam area kebenaran.
4. Perenialisme
Mengutip
Komarudin Hidayat, filsafat perennial adalah kepercayaan bahwa Kebenaran Mutlak
(The Truth) hanyalah satu, tidak terbagi, tetapi dari Yang Satu ini memancar
berbagai “kebenaran” (truths). Sederhananya,
Allah itu satu, tetapi masing-masing agama meresponinya dan membahasakannya
secara berbeda-beda, maka muncullah banyak agama. Hakekat dari semua agama
adalah sama, hanya tampilan luarnya yang berbeda.
SEBUAH MODEL: PLURALISME AGAMA VERSI JOHN
HICK
Untuk mengetahui lebih jelas tentang pluralisme
agama, kita akan melihat pandangan John Hick sebagai tokoh pluralis yang tulisannya
sering dikutip baik oleh orang Kristen maupun pemeluk agama lain. Berikut
ini adalah rangkuman pandangan John Hick:
•
Semua
agama adalah respon terhadap keberadaan tertinggi yg bersifat transenden
(Allah-yang disebut The Real).
•
“The
Real” itu melampaui konsep manusia sehingga semua agama tidak sempurna dalam
relasinya terhadap “The Real” tersebut.
•
Oleh karena
itu, tentang agama-agama John Hick berkata, “agama-agama tidak mungkin
semuanya benar secara penuh; mungkin tidak ada yang benar secara penuh; mungkin
semua adalah benar secara sebagian”
•
John
Hick membedakan “The Real” sebagai realitas ultimat dan “The Real” yang
ditangkap dan dipersepsikan oleh agama-agama sebagai Personae (berpribadi):
Allah, Yahweh, Krisna, Syiwa atau Impersonae (tidak berpribadi): Tao, Nirguna
Brahman, Nirwana, Dharmakaya
•
Dalam
konsep Hick, Personae dan Impersonae adalah penafsiran terhadap The
Real. The Real itu tidak dapat disebut personal atau impersonal,
memiliki tujuan atau tidak memiliki tujuan, baik atau jahat, substansi
atau proses, bahkan satu atau banyak. The Real itu melampaui semua kategori
manusiawi seperti itu.
•
Keselamatan adalah proses perubahan manusia dari
berpusat pada diri sendiri (self-centered)
menjadi berpusat pada Realitas tertinggi (Real-centered)
•
Kriteria untuk mengetahui apakah seseorang sudah
diselamatkan atau tidak adalah kehidupan moral dan spiritualnya yang
mencerminkan kekudusan. Diantara kualitas-kualitas itu adalah: belas
kasihan, kasih kepada semua manusia, kemurnian, kemurahan hati, kedamaian batin
dan ketenangan, sukacita yang memancar.
PLURALISME AGAMA: SEBUAH TINJAUAN KRITIS
Pluralisme agama memang ”simpatik” karena ingin
membangun teologi yang terdengar amat toleran, ”semua agama sama-sama benar.
Semua agama menyelamatkan”. Walaupun demikian teologi pluralisme agama pada
dasarnya menyangkali iman Kristen sejati yang kembali pada Alkitab. Kita akan
memberikan beberapa kritik terhadap pluralisme agama ini.
1. Pluralisme agama merupakan pendangkalan
iman
Orang yang percaya pada teologi pluralisme agama
biasanya tidak benar-benar mendasarkan pandangannya atas dasar kitab suci agama
yang dianutnya atau tidak benar-benar berteologi berdasarkan sumber utama
(kitab suci). Jika kita benar-benar jujur membaca kitab suci agama-agama maka
kita menemukan klaim-klaim eksklusif yang memang tidak bersifat saling
melengkapi tetapi saling bertentangan. Sebagai contoh: Buddhisme tidak percaya
pada kehidupan kekal (surga) sebagai tempat bersama Allah. Buddhisme percaya
pada Nirwana dan Reinkarnasi. Nirwana adalah Keadaan Damai yang membahagiakan,
yang merupakan kepadaman segala perpaduan yang bersyarat (Dhammapada bab XXV).
Bagi Budhisme, tidak ada neraka dalam definisi ”tempat dan kondisi dimana Allah
menghukum manusia”. Yang ada adalah reinkarnasi bagi mereka yang belum mampu memadamkan
keinginan-keinginan duniawinya. Hal ini tentu bertentangan dengan konsep Kristen
yang percaya surga dan neraka. Bahkan jika kita berkata bahwa Islam juga
mempercayai surga dan neraka, tetap terdapat perbedaan konsep (Lih.Q.S.6:128; 78:31-34).
Disini kita melihat bahwa pluralisme adalah konsep yang mereduksi keunikan
pandangan agama masing-masing.
2. Pluralisme agama memiliki dasar yang lemah
Pragmatisme yang mendasari pluralisme agama adalah
sebuah cara berpikir yang tidak tepat.
Demi keharmonisan maka mengganggap semua agama benar adalah mentalitas orang
yang dangkal dan penakut. Selanjutnya, relativisme kebenaran adalah sebuah
pandangan yang salah. Penganut relativisme agama tampaknya sering tidak bisa
membedakan antara relativisme dalam hal selera (enak/tidak enak, cantik/tidak
cantik), opini (UK Petra akan semakin maju/mundur) dan sudut pandang (ekonomi,
sosiologi) dengan kemutlakan kebenaran. Kebenaran itu mutlak, sedangkan selera,
opini dan sudut pandang memang relatif.
3. Penganut pluralisme Agama
seringkali tidak konsisten
Penganut pluralisme agama sering menuduh golongan yang percaya
bahwa hanya agamanyalah yang benar (sering disebut eksklusivisme atau partikularisme
dalam teologi Kristen) sebagai fanatik,
fundamentalis dan memutlakkan agamanya. Padahal dengan menuduh demikian, kaum
pluralis telah menyangkali pandangannya sendiri bahwa tiap orang boleh meyakini
agamanya masing-masing secara bebas. Jika seorang pluralis anti terhadap kaum eksklusivis maka
ia bukanlah pluralis yang konsisten. Dalam realita, kita menemukan banyak
pluralis yang seperti itu dan memutlakkan pandangan bahwa ”semua agama benar”.
Kaum pluralis seringkali terjebak dalam eksklusivisme baru yang mereka buat
yaitu hanya mau menghargai kaum pluralis lainnya dan kurang menghargai kaum
eksklusivis.
4. Pluralisme agama menghasilkan toleransi
yang semu
Jika kita membangun toleransi atas dasar
kepercayaan bahwa semua agama sama-sama benar, hal itu adalah toleransi yang
semu. Toleransi yang sejati justru muncul sebagaimana dikatakan Frans Magnis
Suseno, ”meskipun saya tidak meyakini
iman-kepercayaan Anda, meskipun iman Anda bukan kebenaran bagi saya, saya
sepenuhnya menerima keberadaan Anda. Saya gembira bahwa Anda ada, saya bersedia
belajar dari Anda, saya bersedia bekerja sama dengan Anda.”
5. Kritik terhadap pluralisme
agama John Hick
Jika ”The Real” atau Allah-nya Hick memang melampau konsep yang baik atau yang
jahat, mengapa Hick justru menggunakan kriteria ”kekudusan” untuk mengetahui
seseorang itu sudah diselamatkan atau tidak diselamatkan? Ini adalah sebuah kriteria
yang bisa kita pertanyakan keabsahannya. Selanjutnya, bagi Hick, keselamatan
adalah transformasi moral akibat perubahan pusat kehidupannya dari diri sendiri
kepada ”The Real” (Allah, Brahman, Tao). Hal ini mencerminkan teologi yang
tidak berdasarkan Alkitab, walaupun Hick sendiri mengaku Kristen. Teologi alkitabiah
menunjukkan bahwa keselamatan bukan hasil perilaku etika atau moralitas
tertentu tetapi kebenaran Allah di dalam karya penebusan Yesus Kristus di kayu
salib yang kita terima secara cuma-cuma melalui
iman (Roma 3:28-30; 10: 9-10; Mat. 26:28). Keselamatan dalam konsep Kristen
juga berbeda dengan keselamatan dalam Islam karena Al Qur’an menyatakan bahwa
keselamatan adalah hasil sinergi antara iman
dan amal manusia (Q.S.Al Baqarah 25).
Kesimpulan
Pluralisme agama dalam pengetian teologi-filosofi memiliki banyak kelemahan
dalam logika dan konsistensi teologi. Selain itu berdasarkan epistemologi
Alkitab, kita harus menolak pandangan ”semua agama menuju pada Allah dan semua
agama menyelamatkan”. Orang Kristen perlu berani mengakui perkataan Yesus "Akulah jalan
dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau
tidak melalui Aku.” Sikap demikian bukanlah fanatik tetapi konsisten.
Fanatik adalah mempercayai sesuatu atau seseorang tanpa bersikap kritis
terhadapnya. Seseorang yang belum pernah belajar semua agama tetapi
terburu-buru mengatakan semua agama pada dasarnya sama justru adalah orang yang
fanatik terhadap pluralisme agama. Akhirnya, tentu saja kita perlu menerima pluralisme
agama secara sosial, tetapi pluralisme agama dalam kategori teologi-filosofi
harus kita tolak dengan tegas.
DAFTAR PUSTAKA
TERPILIH
Geisler, Norman L. Baker
Encyclopedia of Christian Apologetics. Grand Rapids: Baker, 1999.
Hick, John. “Ketidakmutlakan Agama Kristen” dalam Mitos Keunikan
Agama Kristen, Eds. John Hick dan Paul F. Knitter. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Corduan, Winfried. A Tapestry of Faiths: The Common Threads
Between Christianity and World Religions. Illinois: IVP, 2002.
Eds. Okholm, Dennis L. dan Philips,
Timothy R. Four Views on Salvations in a
Pluralistic World. Grand Rapids:
Zondervan, 1995.
Netland, Harold. Encountering Religious Pluralism: The
Challenge to Christian Faith and Mission.
Illinois:
IVP, 2001.
Lumintang,
Stevri L. Teologia Abu-Abu Pluralisme Agama.
Malang: Gandum Mas, 2004.
Sen
Chang, Lit. Asia’s Religions: Christianty’s Momentous
Encounter With Paganism. New Jersey: P&R,
1999.
Suseno,
Frans Magnis S.J. Menjadi Saksi Kristus
di Tengah Masyarakat Majemuk. Jakarta: Obor, 2004.
Carson
D. A. The Gagging of God: Christianity Confronts Pluralism. Grand Rapids: Zondervan,
1996.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar