LANDASAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN
DOSEN
: PROF.Dr.SAHAT SIAGIAN, M.Pd
Dr. MURSYID, M.Pd
Oleh :
WILDAN DEPARI HASIBUAN
TEKNOLOGI
PENDIDIKAN
PROGRAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
NEGERI MEDAN
2012
Kata Pengantar
Kesungguhan dalam melakukan hal-hal yang baik akan menghadiahkan yang baik
pula. Demikian juga penyelesaian makalah ini dapat terlaksana karena dilandasi
niat baik dan penyertaan Tuhan Yang Maha
Esa, sehingga
nantinya dapat berguna bagi siapapun yang menyimak isi dari makalah ini.
Makalah ini disusun oleh kelompok untuk memenuhi tugas kelompok pada mata
kuliah Landasan Ilmiah Ilmu Pendidikan pada program studi Teknologi Pendidikan
Pascasarjana-UNIMED, dengan judul Landasan
Sosiologi Pendidikan.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan kritikan
yang bersifat membangun dalam upaya penyempurnaan makalah ini dari berbagai
pihak terutama Bapak Dosen Pengampuh mata kuliah ini serta saudara-saudari
mahasiswa semester 2 Prodi TP-Pascasarjana-Unimed.
Medan, April 2012
Penyusun
Kelompok
Daftar
Isi
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I. PENDAHULAN
Daftar Isi
BAB I. PENDAHULAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Landasan Sosiologi
B. Sejarah Sosiologi
Pendidikan
C. Landasan Sosiologi
Pendidikan
D. Ruang Lingkup Dan
Fungsi Kajian Sosiologi Pendidikan
E. Masyarakat
Indonesia Sebagai Landasan Sosiologis Sistem Pendidikan Nasional
BAB
III –PENUTUP
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULAN
PENDAHULAN
A. Latar Belakang
Masalah
Manusia
adalah makhluk hidup yang diberikan berbagai potensi oleh Tuhan, setidaknya
manusia diberikan panca indera dalam hidupnya. Namun tentu saja potensi yang
dimilikinya harus digunakan semaksimal mungkin sebagai bekal dalam menjalani
hidupnya. Untuk memaksimalkan semua potensi yang dimiliki oleh kita sebagai
manusia, tentunya harus ada sesuatu yang mengarahkan dan membimbingnya, supaya
berjalan dan terarah sesuai dengan apa yang diharapkan.
Mengingat begitu
besar dan berharganya potensi yang dimiliki manusia, maka manusia harus
dibekali dengan pendidikan yang cukup sejak dini. Di lain pihak manusia
juga memiliki kemampuan dan diberikan akal pikiran yang berbeda dengan makhluk
yang lain. Sedangkan pendidikan itu adalah usaha yang disengaja dan terencana
untuk membantu perkembangan potensi dan kemampuan manusia agar bermanfaat bagi
kepentingan hidupnya.
Secara
sosiologi,
pendidikan adalah sebuah warisan budaya dari generasi ke generasi, agar
kehidupan masyarakat berkelanjutan, dan identitas masyarakat itu tetap
terpelihara. Sosial budaya merupakan bagian hidup manusia yang paling dekat
dengan kehidupan sehari-hari, dan hampir setiap kegiatan manusia tidak terlepas
dari unsur sosial budaya.
Memasuki
abad ke-21 dan menyongsong milenium ketiga tentu akan terjadi banyak perubahan
dalam kehidupan masyarakat sebagai akibat dari era globalisasi. Tak hanya
perubahan sosial, budaya pun berpengaruh besar dalam dunia pendidikan akibat
dari pergeseran paradigma pendidikan yaitu mengubah cara hidup, berkomunikasi,
berpikir, dan cara bagaimana mencapai kesejahteraan. Dengan mengetahui begitu
pesatnya arus perkembangan dunia diharapkan dunia pendidikan dapat merespon
hal-hal tersebut secara baik dan bijak yang berlandaskan sosiologi.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, yang menajadi rumusan
masalah dalam makalah
ini adalah :
1.
Apa yang dimaksud dengan
Sosiologi Pendidikan ?
2.
Bagaimana sejarah Sosiologi dengan Pendidikan ?
3.
Apa yang menjadi Landasan Sosiologi Pendidikan ?
4.
Bagaimana Ruang Lingkup Dan Fungsi Kajian
Sosiologi Pendidikan ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Landasan Sosiologi
Sosiologi
lahir dalam abad ke-19 di Eropa, karena pergeseran pandangan tentang
masyarakat, sebagai ilmu empiris yang memperoleh pijakan yang kokoh. Sosiologi
sebagai ilmu yang otonom dapat lahir karena terlepas dari pengaruh filsafat.
Nama sosiologi untuk pertama kali digunakan oleh August Comte (1798-1857) pada
tahun 1839, sosiologi merupakan ilmu pengetahuan positif yang memepelajari
masyarakat. Sosiologi mempelajari berbagai tindakan sosial yang menjelma dalam
realitas sosial. Mengingat banyaknya realitas sosial, maka lahirlah
berbagai cabang sosiologi seperti sosiologi kebudayaan, sosiologi ekonomi,
sosiologi agama, sosiologi pengetahuan, sosiologi pendidikan, dan lain-lain.
Kegiatan
pendidikan merupakan suatu proses interaksi antara dua individu, bahkan dua
generasi, yang memungkinkan generasi muda memperkembangkan diri. Kegiatan
pendidikan yang sistematis terjadi di lembaga sekolah yang dengan sengaja dibentuk
oleh masyarakat. Perhatian sosiologi pada pendidikan semakin intensif. Dengan
meningkatnya perhatian sosiologi pada kegiatan pendidikan tersebut maka
lahirlah cabang sosiologi pendidikan.
B.
Sejarah Sosiologi Pendidikan
Ketika
diangkat menjadi Presiden American Sosiological Association pada tahun
1883, Lester Frank Ward, yang berpandangan demokratis, menyampaikan pidato
pengukuhan dengan menekankan bahwa sumber utama perbedaan kelas sosial dalam
masyarakat Amerika adalah perbedaan dalam memiliki kesempatan, khususnya
kesempatan dalam memperoleh pendidikan. Orang berpendidikan lebih tinggi
memiliki peluang lebih besar untuk maju dan memiliki kehidupan yang lebih
bermutu. Pendidikan dipandang sebagai faktor pembeda antara kelas-kelas sosial
yang cukup merisaukan. Untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan tersebut ia
mendesak pemerintahnya agar menyelenggarakan wajib belajar. Usulan itu
dikabulkan, dan wajib belajar di USA berlangsung 11 tahun, sampai tamat Senior
High School (Rochman Natawidjaja, et. al., 2007: 78).
Buah pikiran
Ward dijadikan landasan untuk lahirnya Educational Sociology sebagai
cabang ilmu yang baru dalam sosiologi pada awal abad ke-20. Ia sering dijuluki
sebagai “Bapak Sosiologi Pendidikan”(Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 79).
Fokus kajian Educational Sociology adalah penggunaan pendidikan sebagai
alat untuk memecahkan permasalahan sosial dan sekaligus memberikan rekomendasi untuk mendukung
perkembangan pendidikan itu sendiri. Kelahiran cabang ilmu baru ini mendapat
sambutan luas dikalangan universitas di USA. Hal itu terbukti dari adanya 14
universitas yang menyelenggarakan perkuliahan Educational Sociology,
pada tahun 1914. Selanjutnya, pada tahun 1923 dibentuk organisasi professional bernama
National Society for the Study of Educational Sociology
dan menerbitkan Journal of educational Sociology. Pada tahun
1948, organisasi progesional yang mandiri itu bergabung ke dalam seksi
pendidikan dari American Sociological Society.
Pada tahun
1928 Robert Angel mengeritik Educational Sociology dan memperkenalkan
nama baru yaitu Sociology of Education dengan focus perhatian pada
penelitian dan publikasi hasilnya, sehingga Sociology of Education bisa
menjadi sumber data dan informasi ilmiah, serta studi akademis yang bertujuan
mengembangkan teori dan ilmu sendiri.
Dengan
dukungan dana penelitian yang memadai, berhembuslah angin segar dan menarik
para sosiolog untuk melakukan penelitian dalam bidang pendidikan. Maka
diubahlah nama Educational Sociology menjadi Sociology of Education
dan Journal of Educational Sociology menjadi Journal of the
Sociology of Education (1963). Serta seksi Educational Sociology
dalam American Sociological Society pun berubah menjadi seksi Sociology
of Education yang berlaku sampai sekarang. Penelitian dan publikasi
hasilnya menandai kehidupan Sociology of Education sejak pasca Perang
Dunia II.
Sosiologi
lahir dalam abad ke-19 di Eropa karena pergeseran pandangan tentang masyarakat
sebagai ilmu empiris yang memperoleh pijakan yang kokoh. Nama sosiologi untuk
pertama kali digunakan oleh August Comte (1798-1857) pada tahun 1839 (Umar
Tirtarahardja dan La Sulo, 1994: 96). Di Prancis, pelopor sosiologi pendidikan
yang terkemuka adalah Durkheim (1858-1917), merupakan Guru Besar Sosiologi dan
Pendidikan pada Universitas Sorbonne.
Di Jerman,
Max Weber (1864-1920) menyoroti keadaan dan penyelenggaraan pendidikan pada
masyarakat dengan latar belakang sosial budaya serta tingkat kemajuan berbeda.
Sedang di Inggris, perhatian sosiologi pada pendidikan pada awalnya kurang
berkembang karena pelopor sosiologi-nya, yaitu Herbert Spencer (1820-1903)
justru merupakan Darwinisme Sosial. Namun belakangan, di Inggris muncul aliran
sosiologi yang memfokuskan perhatiannya akan analisis pendidikan pada level
mikro, yaitu mengenai interaksi sosial yang terjadi dalam ruang belajar. Berstein, misalnya,
berusaha dengan jalan menyajikan lukisan tentang kenyataan dan permasalahan
yang terdapat dalam sistem persekolahan dengan tujuan agar para pengambil keputusan
menentukan langkah-langkah perbaikan yang tepat. Pendekatan Berstein ini oleh
Karabel dijuluki sebagai atheoretical, pragmatic, descriptive, and policy
focused (Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 80).
Di
Indonesia, perhatian akan peran pendidikan dalam pengembangan masyarakat,
dimulai sekitar tahun 1900, saat Indonesia masih dijajah Belanda. Para
pendukung politis etis di Negeri Belanda saat itu melihat adanya keterpurukan
kehidupan orang Indonesia. Mereka mendesak agar pemerintah jajahan melakukan politik
balas budi untuk memerangi ketidakadilan melalui edukasi, irigasi, dan
emigrasi. Meskipun pada mulanya program pendidkan itu amat elitis, lama
kelamaan meluas dan meningkat ke arah yang makin populis sampai penyelenggaraan
wajib belajar dewasa ini. Pelopor pendidikan pada saat itu antara lain: Van
Deventer, R.A.Kartini, dan R.Dewi Sartika.
C.
Landasan
Sosiologi Pendidikan
Landasan
sosiologi mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber dari norma kehidupan
masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan
bermasyarakat suatu bangsa, kita harus memusatkan perhatian pada pola hubungan
antar pribadi dan antar kelompok dalam masyarakat tersebut.
Untuk terciptanya kehidupan masyarakat yang rukun dan damai, terciptalah
nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya menjadi norma-norma sosial yang
mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing anggota
masyarakat.
Dalam
kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam norma yang dianut oleh
pengikutnya, yaitu: (1) paham individualisme, (2) paham kolektivisme, (3) paham
integralistik.
Paham
individualisme dilandasi teori bahwa manusia itu lahir merdeka dan hidup
merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja menurut keinginannya, asalkan
tidak mengganggu keamanan orang lain.
Dampak
individualisme menimbulkan cara pandang yang lebih mengutamakan kepentingan
individu di atas kepentingan masyarakat. Dalam masyarakat seperti ini, usaha
untuk mencapai pengembangan diri, antara anggota masyarakat satu dengan
yang lain saling berkompetisi sehingga menimbulkan dampak yang kuat.
Paham
kolektivisme memberikan kedudukan yang berlebihan kepada masyarakat dan
kedudukan anggota masyarakat secara perseorangan hanyalah sebagai alat bagi
masyarakatnya.
Sedangkan
paham integralistik dilandasi pemahaman bahwa masing-masing anggota masyarakat
saling berhubungan erat satu sama lain secara organis merupakan masyarakat.
Masyarakat integralistik menempatkan manusia tidak secara individualis
melainkan dalam konteks strukturnya manusia adalah pribadi dan juga merupakan
relasi. Kepentingan masyarakat secara keseluruhan diutamakan tanpa merugikan
kepentingan pribadi.
Landasan
sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham integralistik yang bersumber
dari norma kehidupan masyarakat: (1) kekeluargaan dan gotong royong,
kebersamaan, musyawarah untuk mufakat, (2) kesejahteraan bersama menjadi tujuan
hidup bermasyarakat, (3) negara melindungi warga negaranya, dan (4) selaras
serasi seimbang antara hak dan kewajiban. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia
tidak hanya meningkatkan kualitas manusia secara orang per orang melainkan juga
kualitas struktur masyarakatnya.
D.
Ruang
Lingkup Dan Fungsi Kajian Sosiologi Pendidikan
Para ahli
Sosiologi dan ahli Pendidikan sepakat bahwa, sesuai dengan namanya, Sosiologi
Pendidikan atau Sociology of Education (juga Educational Sociology) adalah
cabang ilmu Sosiologi, yang pengkajiannya diperlukan oleh professional dibidang
pendidikan (calon guru, para guru, dan pemikir pendidikan) dan para mahasisiwa
serta professional sosiologi.
Mengenai
ruang lingkup Sosiologi Pendidikan, Brookover mengemukakan adanya empat pokok
bahasan berikut: (1) Hubungan sistem pendidikan dengan sistem social lain, (2)
Hubungan sekolah dengan komunitas sekitar, (3) Hubungan antar manusia dalam
sistem pendidikan, (4) Pengaruh sekolah terhadap perilaku anak didik (Rochman
Natawidjaja, et. Al., 2007: 81).
Sosiologi
Pendidikan diharapkan mampu memberikan rekomendasi mengenai bagaimana harapan
dan tuntutan masyarakat mengenai isi dan proses pendidikan itu, atau bagaimana
sebaiknya pendidikan itu berlangsung menurut kacamata kepentingan masyarakat,
baik pada level nasional maupun lokal.
Sosiologi
Pendidikan secara operasional dapat defenisi sebagai cabang sosiologi yang
memusatkan perhatian pada mempelajari hubungan antara pranata pendidikan dengan
pranata kehidupan lain, antara unit pendidikan dengan komunitas sekitar,
interaksi social antara orang-orang dalam satu unit pendidikan, dan dampak
pendidikan pada kehidupan peserta didik (Rochman Natawidjaja, et. Al.,
2007: 82).
Sebagaimana
ilmu pengetahuan pada umumnya, Sosiologi Pendidikan dituntut melakukan tiga
fungsi pokok.
Pertama,
fungsi eksplanasi, yaitu menjelaskan atau memberikan pemahaman tentang fenomena
yang termasuk ke dalam ruang lingkup pembahasannya. Untuk diperlukan
konsep-konsep, proposisi-proposisi mulai dari yang bercorak generalisasi
empirik sampai dalil dan hukum-hukum yang mantap, data dan informasi mengenai
hasil penelitian lapangan yang actual, baik dari lingkungan sendiri maupun dari
lingkungan lain, serta informasi tentang masalah dan tantangan yang dihadapi.
Dengan informasi yang lengkap dan akurat, komunikan akan memperoleh pemahaman
dan wawasan yang baik dan akan dapat menafsirkan fenomena-fenomena yang
dihadapi secara akurat. Penjelasan-penjelasan itu bisa disampaikan melalui
berbagai media komunikasi.
Kedua,
fungsi prediksi, yaitu meramalkan kondisi dan permasalahan pendidikan yang
diperkirakan akan muncul pada masa yang akan datang. Sejalan dengan itu,
tuntutan masyarakat akan berubah dan berkembang akibat bekerjanya faktor-faktor
internal dan eksternal yang masuk ke dalam masyarakat melalui berbagai media
komunikasi. Fungsi prediksi ini amat diperlukan dalam perencanaan pengembangan
pendidikan guna mengantisipasi kondisi dan tantangan baru.
Ketiga,
fungsi utilisasi, yaitu menangani permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam
kehidupan masyarakat seperti masalah lapangan kerja dan pengangguran, konflik
sosial, kerusakan lingkungan, dan lain-lain yang memerlukan dukungan pendidikan,
dan masalah penyelenggaraan pendidikan sendiri.
Jadi, secara
umum Sosiologi Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan fungsi-fungsinya selaku
ilmu pengetahuan (pemahaman eksplanasi, prediksi, dan utilisasi) melalui
pengkajian tentang keterkaitan fenomena-fenomena siosial dan pendidikan, dalam
rangka mencari model-model pendidikan yang lebih fungsional dalam kehidupan
masyarakat.
Secara
khusus, Sosiologi Pendidikan berusaha untuk menghimpun data dan informasi
tentang interaksi sosial di antara orang-orang yang terlibat dalam institusi
pendidikan dan dampaknya bagi peserta didik, tentang hubungan antara lembaga
pendidikan dan komunitas sekitarnya, dan tentang hubungan antara pendidikan
dengan pranata kehidupan lain.
E.
Masyarakat
Indonesia Sebagai Landasan Sosiologis Sistem Pendidikan Nasional
Masyarakat
selalu mencakup sekelompok orang yang berinteraksi antar sesamanya, saling
tergantung dan terikat oleh nilai dan norma yang dipatuhi bersama, pada umumnya
bertempat tinggal di wilayah tertentu, dan adakalanya mereka memiliki hubungan
darah atau memiliki kepentingan bersama.
Masyarakat
dapat merupakan suatu kesatuan hidup dalam arti luas ataupun dalam arti sempit.
Masyarakat dalam arti luas pada umumnya lebih abstrak misalnya masyarakat
bangsa, sedang dalam arti sempit lebih konkrit misalnya marga atau suku.
Masyarakat
sebagai kesatuan hidup memiliki ciri utama, antara lain: (1) ada interaksi
antara warga-warganya, (2) pola tingkah laku warganya diatur oleh adapt
istiadat, norma-norma, hukum, dan aturan-aturan khas, (3) ada rasa identitas
kuat yang mengikat para warganya. Kesatuan wilayah, kesatuan adat- istiadat,
rasa identitas, dan rasa loyalitas terhadap kelompoknya merupakan pangkal dari
perasaan bangga sebagai patriotisme, nasionalisme, jiwa korps, dan kesetiakawanan
sosial (Umar Tirtarahardja dan La Sulo, 1994: 100).
Masyarakat
Indonesia mempnyai perjalanan sejarah yang panjang. Dari dulu hingga kini, ciri
yang menonjol dari masyarakat Indonesia adalah sebagai masyarakat majemuk yang
tersebar di ribuan pulau di nusantara. Melalui perjalanan panjang, masyarakat
yang bhineka tersebut akhirnya mencapai satu kesatuan politik untuk mendirikan
satu negara serta berusaha mewujudkan satu masyarakat Indonesia sebagaiu
masyarakat yang bhinneka tunggal ika.
Sampai saat
ini, masyarakat Indonesia masih ditandai oleh dua ciri yang unik, yakni (1)
secara horizontal ditandai oleh adanya kesatuan-kesatuan social atau komunitas
berdasarkan perbedaan suku, agama, adat istiadat, dan kedaerahan, dan (2)
secara vertical ditandai oleh adanya perbedaan pola kehidupan antara lapisan
atas, menengah, dan lapisan bawah.
Pada zaman
penjajahan, sifat dasar masyarakat Indonesia yang menonjol adalah (1) terjadi
segmentasi ke dalam bentuk kelompok social atau golongan social jajahan yang seringkali
memiliki sub-kebudayaan sendiri, (2) memiliki struktur social yang
terbagi-bagi, (3) seringkali anggota masyarakat atau kelompok tidak
mengembangkan consensus di antara mereka terhadap nilai-nilai yang bersifat
mendasar, (4) diantara kelompok relative seringkali mengalami konflik, (5)
terdapat saling ketergantungan di bidang ekonomi, (6) adanya dominasi politiuk
oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok social yang lain, dan (7) secara
relative integrasi social sukar dapat tumbuh (Wayan Ardhana, 1986: Modul 1/70).
Masyarakat
Indonesia setelah kemerdekaan, utamanya pada zaman pemerintahan Orde Baru,
telah banyak mengalami perubahan. Sebagai masyarakat majemuk, maka komunitas
dengan ciri-ciri unik, baik secara horizontal maupun secara vertical, masih
dapat ditemukan, demikian pula halnya dengan sifat-sifat dasar dari zaman
penjajahan belum terhapus seluruhnya.
Namun
niat politik yang kuat menjadi suatu masyarakat bangsa Indonesia serta kemajuan
dalam berbagai bidang pembangunan, maka sisi ketunggalan dari “bhinneka tunggal
ika” makin mencuat. Berbagai upaya dilakukan, baik melalui kegiatan jalur
sekolah maupun jalur luar sekolah, telah menumbuhkan benih-benih persatuan dan
kesatuan yang semakin kokoh.
Berbagai
upaya telah dilakukan dengan tidak mengabaikan kenyataan tentang kemajemukan
masyarakat Indonesia. Hal terakhir tersebut kini makin mendapat perhatian yang
semestinya dengan antara lain dimasukkannya muatan lokal (mulok) di dalam
kurikulum sekolah.
Perlu
ditegaskan bahwa muatan local di dalam kurikulum tidak dimaksudkan sebagai
upaya membentuk “manusia lokal”, akan tetapi haruslah dirancang dan
dilaksanakan dalam rangka mewujudkan “manusia Indonesia” di suatu lokal
tertentu. Dengan demikian akan dapat diwujudkan manusia Indonesia dengan wawasan
nusantara dan berjiwa nasional akan tetapi yang memahami dan menyatu dengan
lingkungan (alam, sosial, dan budaya) de sekitarnya.
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
KESIMPULAN
Simpulan
Dari hasil hasil pembahasan yang telah disajikan pada bab II, secara umum dapat
disimpulkan sebagai berikut :
- sosiologi merupakan ilmu yang membahas atau mempelajari interaksi dan pergaulan antara manusia dalam kelompok dan struktur sosial.
- sosiologi pendidikan, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hubungan dan interaksi manusia, baik itu individu atau kelompok dengan peresekolahan sehingga terjalin kerja sama yang sinergi dan berkesinambungan antara manusia dengan pendidikan.