Senin, 27 Februari 2012

Membangun Komunikasi Efektif


Tugas Mata Kuliah : Teori Komunikasi Pendidikan

Dosen Pengampu  :
 Prof.Dr.Efendi Napitupulu, M.Pd
MEMBANGUN KOMUNIKASI EFEKTIF




Disusun Oleh :
*      Wildan Diapari Hasibuan
*      Berliana Marpaung
*      Rut Melarty
*      Elfrida Lubis
*      Afner Siahaan


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI
MEDAN 2012


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang atas Rahmat dan Kuasa-Nya maka kelompok IV dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “MEMBANGUN KOMUNIKASI EFEKTIF” dengan baik.

Penulisan makalah adalah merupakan salah satu tugas dan prasyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Teori Komunikasi.

Dalam penulisan makalah ini kelompok IV menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan penelitian ini, khususnya kepada :

1.      Bapak Dosen Pengampu Prof. Dr. Efendi Napitupulu, M.Pd
2.      Rekan-rekan semua di kelas B Teknologi Pendidikan Semester II

Dalam makalah ini tim merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki tim. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan tujuan utama makalah ini.
Sekian dan selamat membaca…



                                                                                                      Medan, 03 Februari 2012
                                                                                                      Tim Penyusun,

                                                                                                      Kelompok IV









DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………..     i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….     ii         
BAB I             PENDAHULUAN………………………………………………     1
A.    Latar Belakang……………………………………………….    
B.     Tujuan………………………………………………………..    
C.     Rumusan Masalah……………………………………………    
BAB II                        PEMBAHASAN………………………………………………..     
A.    Komunikasi Efektif………………………………………….    
1.      Pengertian Komunikasi Efektif…………………………     






















BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Komunikasi dalam pembalajaran dewasa ini mendapatkan perhatian yang luar biasa. Hal ini dilatarbelakangi pentingnya memilih cara komunikasi dalam proses pembelajaran agar kegiatan tersebut mencapai tujuan secara efektif dan efesien. Komunikasi menjadi salah satu factor penentu keberhasilan dalam proses pembelajaran. Komunikasi yang efektif berkolerasi dengan tingkat keberhasilan pembelajaran.
Komunikasi secara etimologis berasal dari bahasa Latin Communication mengacu pada kata comunis yang berarti sama makna. Komunikasi ialah penyampaian pesan dari komunikator (sender) kepada komunikan (receiver) melalui media tertentu dan menyebabkan efek. Berdasarkan defenisi yang ada di atas dapat diambil pemahaman bahwa :
a.       Komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses penyampaian informasi. Dilihat dari sudut pendang ini, kesuksesan komunikasi tergantung kepada desain pesan atau informasi dan cara penyampaiannya. Menurut konsep ini pengirim dan penerima pesan tidak menjadi komponen yang menentukan.
b.      Komunikasi adalah proses penyampaian gagasan dari seseorang kepada orang lain. Pengirim pesan atau komunikator memiliki peran yang paling menentukan dalam keberhasilan komunikasi, sedangkan komunikan atau penerima pesan hanya sebagai objek yang pasif.
c.       Komunikasi diartikan sebagai proses penciptaan arti terhadap gagasan atau ide yang disampaikan. Pemahaman ini menempatkan tiga komponen yaitu pengirim, pesan dan penerima pesan pada posisi yang seimbang. Proses ini menuntut adanya proses enconding oleh pengirim dan decoding oleh penerima, sehingga informasi dapat bermakna.
Sedangkan pembelajaran dapat dimaknai sebagai interaksi antara pendidik dengan peserta didik yang dilakukan secara sengaja dan terencana serta memiliki tujuan yang positif. Keberhasilan pembelajaran harus didukung oleh komponen-komponen intruksional yang terdiri dari pesan berupa materi belajar, penyampaian pesan yaitu pengajar, bahan untuk menuangkan pesan, peralatan yang mendukung kegiatan belajar, teknik atau metode yang sesuai, serta latar atau situasi yang kondusif bagi proses pembelajaran.

Dalam konteks komunikasi, proses belajar mengajar dapat dipahami sebagai proses komunikasi antara komunikator (guru) dan komunikan (murid). Guru dapat mengkomunikasikan pengalaman, ilmu, ide dan gagasan serta nilai-nilai yang dimilikinya kepada para muridnya dengan harapan bahwa muridnnya dapat menerimanya dan mengaplikasikannya. Aktivitas komunikasi tersebut tidak dapat dilakukan dengan sembarangan akan tetapi harus dilakukan upaya-upaya tertentu agar sesuatu yang disampaikan tersebut dapat diterima dengan mudah dan dimengerti oleh para murid.
Proses belajar mengajar tidak terlepas dari tiga komponen utama yaitu guru, siswa dan bahan ajar. Proses belajar merupakan interkasi antar berbagai unsure, dengan unsure utama adalah siswa, kebutuhan berbagai sumber, serta situasi belajar yang memberikan kemungkinan kegiatan belajar. Meskipun demikian guru merupakan factor yang cukup menentukan, seperti melakukan pengembangan bahan ajar serta perangkat lainnya. Guru juga menjadi posisi sentral karena guru memiliki otoritas dalam menentukan penggunaan metode yang akan digunakan dalam penyampaian bahan ajar supaya diterima oleh murid dengan efektif.

B.       Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui gambaran tentang komunikasi yang efektif dalam kegiatan pembelajaran dan hukum-hukumnya.

C.      Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka komunikasi memegeng peranan kunci dari keberhasilan proses belajar mengajar. Oleh sebab itu diperlukan sebuah komunikasi yang efektif. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah membangun sebuah komunikasi yang efektif?







BAB II
PEMBAHASAN
A.      Komunikasi Efektif
1.      Pengertian Komunikasi Efektif
Komunikasi merupakan suatu proses yang melibatkan dua orang atau lebih dan didalamnya terjadi pertukaran informasi dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Terdapat dua jenis komunikasi yaitu komunikasi lisan dan tulisan. Di dalam komunikasi, terdapat lima elemen yang terlibat yaitu sender (pengirim informasi), receiver (penerima informasi), informasi, feed back, dan media. Masing-masing elemen tersebut saling mempengaruhi dalam keberhasilan komunikasi secara keseluruhan. Dengan demikian masing-masing elemen memiliki peran dan fungsi sendiri-sendiri yang saling mendukung antara satu dengan lainnya, saling terkait dan tidak dapat saling meniadakan.
Komunikasi yang efektif dapat diartikan sebagai penerimaan pesan oleh komunikan atau receiver sesuai dengan pesan yang dikirim oleh sender atau komunikator, kemudian receiver atau komunikan memberikan respon yang positif sesuai dengan yang diharapkan. Jadi, komunikasi efektif itu terjadi apabila terdapat aliran informasi dua arah antara komunikator dan komunikan dan informasi tersebut sama-sama direspon sesuai dengan harapan kedua pelaku komunikasi tersebut. Atau dapat pula disebut komunikasi yang mampu menghasilkan perubahan sikap (attitude change) pada orang yang terlibat dalam komunikasi, yang bertujuan untuk memberi kemudahan dalam memahami pesan yang disampaikan antara pemberi dan penerima sehingga bahasa lebih jelas, lengkap, pengiriman dan umpan balik seimbang dan melatih penggunaan bahasa nonverbal secara baik.
Hal yang harus menjadi perhatian utama dan sering kita lupa adalah, receiver (penerima informasi) dari proses belajar mengajar adalah manusia, maka sudah selayaknya seorang pendidik memperlakukan siswanya “sebagai manusia”, bukan memperlakukannya sebagai mesin atau objek yang tidak memiliki perasaan. Sudah saatnya komunikasi yang terjadi di dalam proses belajar mengajar merupakan sebuah komunikasi berkualitas yang mengedepankan rasa “kemanusiaan”, dengan demikian akan tercapai sebuah kualitas dari komunikasi yang efektif yang akan berefek pada peningkatan kualitas diri setiap orang yang terlibat di dalamnya.
Menurut Stephen Covey, komunikasi merupakan keterampilan yang paling penting dalam hidup kita. Kita menghabiskan sebagian besar waktu di saat kita sadar dan bangun untuk berkomunikasi. Sama halnya dengan pernafasan, komunikasi kita anggap sebagai hal yang otomatis terjadi begitu saja, sehingga kita tidak memiliki kesadaran untuk melakukannya dengan efektif. Dia juga menekankan konsep kesalingtergantungan (interdependency) untuk menjelaskan hubungan antar manusia. Unsur yang paling penting dalam komunikasi bukan sekedar pada apa yang kita tulis atau kita katakan, tetapi pada karakter kita dan bagaimana kita menyampaikan pesan kepada penerima pesan. Komunikasi efektif dapat terbentuk apabila terdapat aliran informasi dua arah antara komunikator dan komunikan serta informasi tersebut sama-sama direspon sesuai dengan harapan kedua pelaku komunikasi tersebut. Guna mewujudkan hal tersebut setidaknya ada lima aspek yang perlu dipahami dan dilakukan dalam membangun komunikasi yang efektif. Kelima aspek tersebut adalah :
a. aspek kejelasan
Informasi yang akan disampaikan oleh komunikator kepada komunikan harus disampaikan dengan bahasa pengantar yang jelas dan sama-sama dipahami oleh kedua pihak. Hal ini dimaksudkan bahwa dalam komunikasi harus menggunakan bahasa dan mengemas informasi secara jelas, sehingga mudah diterima dan dipahami oleh komunikan.
b. aspek ketepatan
Ketepatan atau akurasi ini menyangkut penggunaan bahasa pengantar yang benar dan kebenaran informasi yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan.
c. aspek konteks
Konteks atau sering disebut dengan situasi adalah bahwa bahasa dan informasi yang disampaikan harus sesuai dengan keadaan dan lingkungan dimana komunikasi itu terjadi. Keadaan yang demikian akan menciptakan iklim komunikasi yang santai dan memudahkan komunikan dalam menyerap apa yang disampaikan oleh komunikan karena sesuai dengan situasi yang ada pada saat itu.
d. aspek alur
Bahasa dan informasi yang akan disajikan harus disusun dengan alur atau sistematika yang jelas, sehingga pihak yang menerima informasi cepat tanggap.
e. aspek budaya
Aspek ini tidak saja menyangkut bahasa dan informasi, tetapi juga berkaitan dengan tatakrama dan etika. Artinya dalam berkomunikasi harus menyesuaikan dengan budaya orang yang diajak berkomunikasi, baik dalam penggunaan bahasa verbal maupun nonverbal, agar tidak menimbulkan kesalahan persepsi. (EndangLestari G : 2003)
Merujuk pada pendapat Stephen Covey, syarat utama dalam komunikasi efektif adalah karakter yang kokoh yang dibangun dari integritas pribadi yang kuat seorang komunikan. Komunikator dalam konteks komunikasi pendidikan adalah seorang guru. Integritas pribadi seorang guru akan menghasilkan kepercayaan dan merupakan fondasai utama dalam membangun komunikasi yang efektif. Pribadi yang berintegritas berarti pribadi yang jujur dalam segala hal. Proses belajar mengajar dapat dilandasi dengan semangat dan jiwa persahabatan antara guru dan murid, dalam hal ini kejujuran mengambil peran penting karena tidak ada persahabatan yang lebih baik dari sekedar kejujuran (honesty). Kejujuran mengatakan kebenaran atau menyesuaikan kata–kata kita dengan realitas. Integritas adalah menyesuaikan realitas dengan kata–kata kita. Integritas bersifat aktif, sedangkan kejujuran bersifat pasif. Seorang guru akan menjadi faktor yangterus disorot oleh siswa, oleh karena itu seorang guru diharapkan bisa menjadi teladan yang baik bagi siswa dalam setiap perilakunya.
Setelah pendidik memiliki fondasi utama dalam membangun komunikasi yang efektif, maka hal berikutnya yang perlu mendapatkan perhatian adalah tentang 5 Hukum Komunikasi Yang Efektif (The 5 Inevitable Laws of Effective Communication). Kelima hukum tersebut adalah respect, empathy, audible, clarity, dan humble yang disingkat REACH yang berarti merengkuh atau meraih. Komunikasi itu pada dasarnya adalah sebuah upaya untuk meraih perhatian, cinta kasih, minat, kepedulian, simpati, tanggapan, maupun respon positif dari orang lain.


2. 5 Hukum Komunikasi Efektif
a. Hukum pertama : Respect
Hukum pertama dalam mengembangkan komunikasi yang efektif adalah sikap menghargai setiap individu yang akan menjadi sasaran pesan yang di sampaikan. Guru dituntut dapat memahami bahwa ia harus bisa menghargai setiap siswa yang dihadapinya. Rasa hormat dan saling menghargai merupakan hukum yang pertama dalam berkomunikasi dengan orang lain karena pada prinsipnya manusia ingin dihargai dan dianggap penting. Membangun komunikasi dengan rasa dan sikap saling menghargai dan menghormati akan dapat membangun kerjasama yang menghasilkan sinergi yang dapat meningkatkan efektivitas kinerja guru baik sebagai individu maupun secara keseluruhan sebagai tim. Salah satu prinsip paling dalam sifat dasar manusia adalah kebutuhan untuk dihargai. Penghargaan terhadap individu adalah suatu kebutuhan yang harus dipenuhi. Ini adalah suatu rasa lapar manusia yang tak terperikan dan tak tergoyahkan sehingga setiap individu yang dapat memuaskan kelaparan hati tersebut akan menggenggam orang dalam telapak tangannya. Selain itu penghargaan yang tulus terhadap individu dapat membangkitkan antusiasme dan mendorong orang lain melakukan hal–hal terbaik. Guru yang memberikan penghargaan secara tulus kepada para murid maka akan dihargai pula oleh muridnya dan menjadikan proses belajar mengajar menjadi sebuah proses yang menyenangkan bagi semua pihak.
b. Hukum kedua: Emphaty
Empati adalah kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Salah satu prasyarat utama dalam memiliki sikap empati adalah kemampuan kita untuk mendengarkan atau mengerti terlebih dulu sebelum didengarkan atau dimengerti oleh orang lain. Dengan memahami dan mendengarkan orang lain terlebih dahulu, kita dapat membangun keterbukaan dan kepercayaan yang kita perlukan dalam membangun kerjasama atau sinergi dengan orang lain. Rasa empati akan memampukan kita untuk dapat menyampaikan pesan (message) dengan cara dan sikap yang akan memudahkan penerima pesan (receiver) menerimanya. Komunikasi di dunia pendidikan diperlukan saling memahami dan mengerti keberadaan, perilaku dan keinginan dari siswa. Rasa empati akan menimbulakan respek atau penghargaan, dan rasa respek akan membangun kepercayaan yang merupakan unsur utama dalam membangun sebuah suasana kondusif di dalam proses belajar-mengajar. Jadi sebelum kita membangun komunikasi atau mengirimkan pesan, kita perlu mengerti dan memahami dengan empati calon penerima pesan kita. Sehingga nantinya pesan kita akan dapat tersampaikan tanpa ada halangan psikologi atau penolakan dari penerima.
c. Hukum ketiga: Audible
Hukum audible berarti adalah dapat didengarkan atau dimengerti dengan baik. Berbeda dengan hukum yang kedua yakni empati dimana guru harus mendengar terlebih dahulu ataupun mampu menerima umpan balik dengan baik, maka audible adalah menjamin bahwa pesan yang disampaikan dapat diterima oleh penerima pesan dengan baik. Dalam rangka mencapai hal tersebut maka pesan harus disampaikan melalui media (delivery channel) sehingga dapat diterima dengan baik oleh penerima pesan. Hal itu menuntut kemampuan guru dalam menggunakan berbagai media maupun perlengkapan atau alat bantu audio-visual yang dapat membantu supaya pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh para murid.

d. Hukum keempat: Clarity
Hukum clarity adalah kejelasan dari isi pesan supaya tidak menimbulkan multi interpretasi atau berbagai macam penafsiran. Clarity dapat pula berarti keterbukaan dan transparasi. Dalam berkomunikasi kita perlu mengembangkan sikap terbuka (tidak ada yang ditutupi atau disembunyikan), sehingga dapat menimbulkan rasa percaya (trust) dari penerima pesan. Karena tanpa keterbukaan akan timbul sikap saling curiga dan pada gilirannya akan menurunkan semangat dan antusiasme siswa dalam proses belajar-mengajar. Dengan cara seperti ini siswa tidak akan menganggap lagi proses belajar-mengajar sebagai formalitas tetapi akan mengganggapnya sebagai sebuah kebutuhan pokok bagi kehidupannya.
e. Hukum kelima: Humble
Hukum kelima dalam membangun komunikasi yang efektif adalah sikap rendah hati. Sikap ini merupakan unsur yang terkait dengan hukum pertama untuk membangun rasa menghargai orang lain, biasanya didasari oleh sikap rendah hati yang kita miliki. Kerendahan hati merupakan suatu cara agar orang lain merasa nyaman (care) karena ia merasa sejajar sehingga memudahkan komunikasi dalam dua arah. Komunikasi yang efektif dalam proses pembelajaran sangat berdampak terhadap keberhasilan pencapaian tujuan. Komunikasi dikatakan efektif apabila terdapat aliran informasi dua arah antara komunikator dan komunikan dan informasi tersebut sama-sama direspon sesuai dengan harapan kedua pelaku komunikasi tersebut. Jika dalam pembelajaran terjadi komunikasi yang efektif antara pengajar dengan siswa, maka dapat dipastikan bahwa pembelajaran tersebut berhasil.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka para pengajar, pendidik, atau instruktur pada lembaga-lembaga pendidikan atau pelatihan harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Kemampuan komunikasi yang dimaksud dapat berupa kemampuan memahami dan mendesain informasi, memilih dan menggunakan saluran atau media, serta kemampuan komunikasi antar pribadi dalam proses pembelajaran. Pembelajaran sebagai subset dari proses pendidikan harus mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas pendidikan, yang pada ujungnya akan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia. Agar pembelajaran dapat mendukung peningkatan mutu pendidikan, maka dalam proses pembelajaran harus terjadi komunikasi yang efektif, yang mampu memberikan kefahaman mendalam kepada peserta didik atas pesan atau materi belajar.
Hal yang terakhir yang harus ada di dalam diri para pendidik adalah sikap mental yang dipenuhi semangat dan kesungguhan. Semua teori yang disebutkan di atas tidak akan cukup berat jika memang tidak dibarengi dengan sebuah kesungguhan dan semangat yang kita singkat dengan SOUL (4 SPIRIT FOR SOUL) yakni:
·         Spirit for Servicing
Hai ini mungkin menjadi sesuatu yang sering dilupakan insan pendidikan. Pekerjaan mulia yang ada dihadapan seringkali tidak dibungkus dengan sebuah semangat yang tulus untuk melayani. Melayani murid tercinta, melayani orang yang memberikan kepercayaan kepada Anda, melayani cikal bakal kader bangsa calon penyelamat bangsa untuk keluar dari krisis.

·         Spirit for giving an Ouststanding Performance
Menaikkan level pelayanan Anda menjadi pelayanan dengan semangat memberikan Ouststanding Performance semangat memberikan hasil yang terbaik bagi semua tugas dan pelayanan.
·         Spirit for Understanding
Hal selanjutnya yang tidak kalah penting adalah semangat yang tulus yang muncul dari dalam diri untuk lebih mendengarkan dan mengerti keinginan siswa yang Anda didik.
·         Spirit for Loving
Memunculkan semangat untuk lebih mencintai siswa seperti anak sendiri dan cintai mereka seperti kita mencintai diri sendiri. Lakukanlah hal ini, maka siswa akan melihat ketulusan kita untuk kemudian akan bersama-sama dengan kita meraih kesuksesan dalam proses belajar mengajar.


















BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
a.    Pembelajaran sebagai subset dari proses pendidikan harus mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas pendidikan, yang pada ujungnya akan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia.
b.    Komunikasi efektif dalam pembelajaran merupakan proses transformasi pesan berupa ilmu pengetahuan dan teknologi dari pendidik kepada peserta didik, dimana peserta didik mampu memahami maksud pesan sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, sehingga menambah wawasan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menimbulkan perubahan tingkah laku menjadi lebih baik.
c.    Lima elemen yang terlibat dalam komunikasi efektif adalah sender, receiver, informasi, feed back dan media.
d.   5 Hukum komunikasi yang efektif yaitu respect (sikap menghargai), emphaty (kemampuan mendengar), audible (dapat didengarkan /dimengerti dengan baik), clarity (jelas) dan humble (rendah hati)
B.  Saran
1.    Agar pembelajaran dapat mendukung peningkatan mutu pendidikan, maka dalam proses pembelajaran harus terjadi komunikasi yang efektif, yang mampu memberikan kefahaman mendalam kepada peserta didik atas pesan atau materi belajar.
2.    Untuk membangun komunikasi efektif seseorang harus memiliki karakter yang kokoh yang dibangun dari integritas pribadi yang kuat, karena seorang pendidik menjadi factor yang terus disorot oleh siswa, oleh karena itu apabila Anda seorang pendidik diharapkan bisa menjadi teladan yang baik bagi siswa dalam setiap perilakunya.










Keluarga

Filsafat dan Ilmu Pengetahuan


BAB I

PENGETAHUAN DENGAN ILMU PENGETAHUAN
TELAAH FILOSOFIS

1.   Filsafat dan Filsafat Ilmu Pengetahuan
Sebelum Metode Penelitian dengan pendekatan Kualitatif atau Metode Penelitian Kualitatif, akan diuraikan terlebih dahulu apa Perbedaan Ilmu Pengetahuan Ilmiah (Science) dengan Pengetahuan (Knowledge). Mengapa demikian ? Kedua metode Penelitian baik kuantitatif maupun kualitatif digunakan untuk mengembangkan Ilmu Pengetahuan Ilmiah (Science). Oleh karena itu perlu diketahui terlebih dahulu apa itu Ilmu Pengetahuan Ilmiah dan perbedaanya dengan Pengetahuan. Dengan dipahaminya Ilmu Pengetahuan Ilmiah akan mempermudah memahami Metode Penelitian Ilmiah dan kaitan antara keduanya. Berikut ini akan disinggung sedikit tentang Filsafat dan perbedaannya dengan Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Secara singkat dapat dikatakan Filsafat adalah refleksi kritis yang radikal. Refleksi adalah upaya memperoleh pengetahuan yang mendasar atau unsur-unsur yang hakiki atau inti. Apabila ilmu pengetahuan mengumpulkan data empiris atau data fisis melalui observasi atau eksperimen, kemudian dianalisis agar dapat ditemukan hukum-hukumnya yang bersifat universal. Oleh filsafat hukum-hukum yang bersifat universal tersebut direfleksikan atau dipikir secara kritis dengan tujuan untuk mendapatkan unsur-unsur yang hakiki, sehingga dihasilkan pemahaman yang mendalam. Kemudian apa perbedaan Ilmu Pengetahuan dengan Filsafat. Apabila ilmu pengetahuan sifatnya taat fakta, objektif dan ilmiah, maka filsafat sifatnya mempertemukan berbagai aspek kehidupan di samping membuka dan memperdalam pengetahuan. Apabila ilmu pengetahuan objeknya dibatasi, misalnya Psikologi objeknya dibatasi pada perilaku manusia saja, filsafat objeknya tidak dibatasi pada satu bidang kajian saja dan objeknya dibahas secara filosofis atau reflektif rasional, karena filsafat mencari apa yang hakikat. Apabila ilmu pengetahuan tujuannya memperoleh data secara rinci untuk menemukan pola-polanya, maka filsafat tujuannya mencari hakiki, untuk itu perlu pembahasan yang mendalam. Apabila ilmu pengetahuannya datanya mendetail dan akurat tetapi tidak mendalam, maka filsafat datanya tidak perlu mendetail dan akurat, karena yang dicari adalah hakekatnya, yang penting data itu dianalisis secara mendalam.
Persamaan dan perbedaan antara Filsafat dan Agama adalah sebagai berikut. Persamaan antara Filsafat dan Agama adalah semuanya mencari kebenaran. Sedang perbedaannya Filsafat bersifat rasional yaitu sejauh kemampuan akal budi, sehingga kebenaran yang dicapai bersifat relatif. Agama berdasarkan iman atau kepercayaan terhadap kebenaran agama, karena merupakan wahyu dari Tuhan YME, dengan demikian kebenaran agama bersifat mutlak.
Kajian filsafat meliputi ruang lingkup yang disusun berdasarkan pertanyaan filsuf terkenal Immanuel Kant sebagai berikut:
1)      Apa yang dapat saya ketahui (Was kan ich wiesen)
Pertanyaan ini mempunyai makna tentang batas mana yang dapat dan mana yang tidak dapat diketahui. Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah suatu fenomena. Fenomena selalu dibatasi oleh ruang dan waktu. Hal ini menjadi dasar bagi Epistomologi. Eksistensi Tuhan bukan merupakan kajian Epistomologi karena berada di luar jangkauan indera. Bahan kajian Epistomologi adalah yang berada dalam jangkauan indera. Kajian Epistomologi adalah fenomena sedang eksistensi Tuhan merupakan objek kajian Metafisika. Epistomologi meliputi: Logika Pengetahuan (Knowledge), Ilmu Pengetahuan Ilmiah (Science) dan Metodologi.
2)      Apa yang harus saya lakukan (Was soll ich tun)
Pertanyaan ini mempersoalkan nilai (values), dan disebut Axiologi, yaitu nilai-nilai apa yang digunakan sebagai dasar dari perilaku. Kajian Axiologi meliputi Etika atau nilai-nilai keutamaan atau kebaikan dan Estetika atau nilai-nilai keindahan.
3)      Apa yang dapat saya harapkan (Was kan ich hoffen)
Pengetahuan manusia ada batasnya. Apabila manusia sudah sampai batas pengetahuannya, manusia hanya bisa mengharapkan. Hal ini berkaitan dengan being, yaitu hal yang ”ada”, misalnya permasalahan tentang apakah jiwa manusia itu abadi atau tidak, apakah Tuhan itu ada atau tidak. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak terjawab oleh Ilmu Pengetahuan Ilmiah, tetapi oleh Religi. Refleksi tentang Being terbagi lagi menjadi dua, yaitu Ontologi yaitu struktur segala yang ada, realitas, keseluruhan objek-objek yang ada, dan Metafisika yaitu hal-hal yang berada di luar jangkauan indera, misalnya jiwa dan Tuhan.
Bidang-bidang kajian Filsafat, apabila digambarkan adalah sebagaimana bagan berikut:
                                                            BEING


 





                                                                                                       EPISTOMOLOGI

AXIOLOGI


Gambar 1: Bidang Kajian Filsafat
Sumber: Noerhadi T. H. (1998) Diktat Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Pascasarjana Universitas Indonesia.

Selanjutnya akan dibahas salah satu bidang kajian Filsafat, yaitu Filsafat Ilmu Pengetahuan, karena bidang ini membahas hakekat ilmu pengetahuan ilmiah (science). Hakekat ilmu pengetahuan dapat ditelusuri dari 4 (empat) hal, yaitu:
1)      Sumber ilmu pengetahuan itu dari mana.
Sumber ilmu pengetahuan mempertanyakan dari mana ilmu pengetahuan itu diperoleh. Ilmu pengetahuan diperoleh dari pengalaman (emperi) dan dari akal (ratio). Sehingga timbul faham atau aliran yang disebut empirisme dan rasionalisme. Aliran empirisme yaitu faham yang menyusun teorinya berdasarkan pada empiri atau pengalaman. Tokoh-tokoh aliran ini misalnya David Hume (1711-1776), John Locke (1632-1704), Berkley. Sedang rasionalisme menyusun teorinya berdasarkan ratio. Tokoh-tokoh aliran ini misalya Spinoza, Rene Descartes. Metode yang digunakan aliran emperisme adalah induksi, sedang rasionalisme menggunakan metode deduksi. Immanuel Kant adalah tokoh yang mensintesakan faham empirisme dan rasionalisme.


Gambar 2 : David Hume, John Locke , dan George Berkeley

Gambar 3 : Immanuel Kant

2)      Batas-batas Ilmu Pengetahuan.
Menurut Immanuel Kant apa yang dapat kita tangkap dengan panca indera itu hanya terbatas pada gejala atau fenomena, sedang substansi yang ada di dalamnya tidak dapat kita tangkap dengan panca indera disebut nomenon. Apa yang dapat kita tangkap dengan panca indera itu adalah penting, pengetahuan tidak sampai disitu saja tetapi harus lebih dari sekedar yang dapat ditangkap panca indera.
Yang dapat kita ketahui atau dengan kata lain dapat kita tangkap dengan panca indera adalah hal-hal yang berada di dalam ruang dan waktu. Yang berada di luar ruang dan waktu adalah di luar jangkauan panca indera kita, itu terdiri dari 3 (tiga) ide regulatif: 1) ide kosmologis yaitu tentang semesta alam (kosmos), yang tidak dapat kita jangkau dengan panca indera, 2) ide psikologis yaitu tentang psiche atau jiwa manusia, yang tidak dapat kita tangkap dengan panca indera, yang dapat kita tangkap dengan panca indera kita adalah manifestasinya misalnya perilakunya, emosinya, kemampuan berpikirnya, dan lain-lain, 3) ide teologis yaitu tentang Tuhan Sang Pencipta Semesta Alam.
3)      Strukturnya.
Yang ingin mengetahui adalah subjek yang memiliki kesadaran. Yang ingin kita ketahui adalah objek, diantara kedua hal tersebut seakan-akan terdapat garis demarkasi yang tajam. Namun demikian sebenarnya dapat dijembatani dengan mengadakan dialektika. Jadi sebenarnya garis demarkasi tidak tajam, karena apabila dikatakan subjek menghadapi objek itu salah, karena objek itu adalah subjek juga, sehingga dapat terjadi dialektika.
4)      Keabsahan.
Keabsahan ilmu pengetahuan membahas tentang kriteria bahwa ilmu pengetahuan itu sah berarti membahas kebenaran. Tetapi kebenaran itu nilai (axiologi), dan kebenaran itu adalah suatu relasi. Kebenaran adalah kesamaan antara gagasan dan kenyataan. Misalnya ada korespondensi yaitu persesuaian antara gagasan yang terlihat dari pernyataan yang diungkapkan dengan realita.
Terdapat 3 (tiga) macam teori untuk mengungkapkan kebenaran, yaitu:
a)      Teori Korespondensi, terdapat persamaan atau persesuaian antara gagasan dengan kenyataan atau realita.
b)      Teori Koherensi, terdapat keterpaduan antara gagasan yang satu dengan yang lain. Tidak boleh terdapat kontradiksi antara rumus yang satu dengan yang lain.
c)      Teori Pragmatis, yang dianggap benar adalah yang berguna. Pragmatisme adalah tradisi dalam pemikiran filsafat yang berhadapan dengan idealisme, dan realisme. Aliran Pragmatisme timbul di Amerika Serikat. Kebenaran diartikan berdasarkan teori kebenaran pragmatisme.
Untuk mengetahui penerapan 3 (tiga) macam teori tersebut pada bidang apa, periksa skema berikut ini.
Ilmu-ilmu Formal
Ilmu-ilmu Empiris Induktif
Ilmu-ilmu Terapan
Deduktif:
Logika
Matematika
Alam
unorganik:
karang, batu, air.
Hayati:
Kehidupan
Sosial:
Manusia ber masyarakat
Budaya:
Manusia dengan ekspresinya

Ukuran kebenaran Koherensi
menghadapi rumusan-rumusan yang tidak boleh kontradiksi satu sama lain

Ukuran kebenaran Korespondensi

kesesuaian antara gagasan dengan realita/antara gagasan dengan fakta.

Pragmatis

apa yang bermanfaat itu benar.






Gambar 4: Penerapan Teori Korespondensi, Koherensi dan Pragmatis.
Sumber: Noerhadi T. H. (1998) Diktat Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Pascasarjana Universitas Indonesia.

Ciri-ciri Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Filsafat Ilmu Pengetahuan merupakan cabang filsafat yang menelaah baik ciri-ciri ilmu pengetahuan ilmiah maupun cara-cara memperoleh ilmu pengetahuan ilmiah. Ciri-ciri Ilmu Pengetahuan Ilmiah adalah sebagai berikut:
1)      Sistematis.
Ilmu pengetahuan ilmiah bersifat sistematis artinya ilmu pengetahuan ilmiah dalam upaya menjelaskan setiap gejala selalu berlandaskan suatu teori. Atau dapat dikatakan bahwa teori dipergunakan sebagai sarana untuk menjelaskan gejala dari kehidupan sehari-hari. Tetapi teori itu sendiri bersifat abstrak dan merupakan puncak piramida dari susunan tahap-tahap proses mulai dari persepsi sehari-hari/ bahasa sehari-hari, observasi/konsep ilmiah, hipotesis, hukum dan puncaknya adalah teori.
Ciri-ciri yang sistematis dari ilmu pengetahuan ilmiah tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:






 










Gambar 5: Piramida Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Sumber: Noerhadi T. H. (1998) Diktat Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Pascasarjana Universitas Indonesia.

a)      Persepsi sehari-hari (bahasa sehari-hari).
Dari persepsi sehari-hari terhadap fenomena atau fakta yang biasanya disampaikan dalam bahasa sehari-hari diobservasi agar dihasilkan makna. Dari observasi ini akan dihasilkan konsep ilmiah.
b)      Observasi (konsep ilmiah).
Untuk memperoleh konsep ilmiah atau menyusun konsep ilmiah perlu ada definisi. Dalam menyusun definisi perlu diperhatikan bahwa dalam definisi tidak boleh terdapat kata yang didefinisikan. Terdapat 2 (dua) jenis definisi, yaitu: 1) definisi sejati, 2) definisi nir-sejati.
Definisi sejati dapat diklasifikasikan dalam:
1)      Definisi Leksikal. Definisi ini dapat ditemukan dalam kamus, yang biasanya bersifat deskriptif.
2)      Definisi Stipulatif. Definisi ini disusun berkaitan dengan tujuan tertentu. Dengan demikian tidak dapat dinyatakan apakah definisi tersebut benar atau salah. Benar atau salah tidak menjadi masalah, tetapi yang penting adalah konsisten (taat asas). Contoh adalah pernyataan dalam Akta Notaris: Dalam Perjanjian ini si A disebut sebagai Pihak Pertama, si B disebut sebagai Pihak Kedua.
3)      Definisi Operasional. Definisi ini biasanya berkaitan dengan pengukuran (assessment) yang banyak dipergunakan oleh ilmu pengetahuan ilmiah. Definisi ini memiliki kekurangan karena seringkali apa yang didefinisikan terdapat atau disebut dalam definisi, sehingga terjadi pengulangan. Contoh: ”Yang dimaksud inteligensi dalam penelitian ini adalah kemampuan seseorang yang dinyatakan dengan skor tes inteligensi”.
4)      Definisi Teoritis. Definisi ini menjelaskan sesuatu fakta atau fenomena atau istilah berdasarkan teori tertentu. Contoh: Untuk mendefinisikan Superego, lalu menggunakan teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud.
Definisi nir-sejati dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
1)      Definisi Ostensif. Definisi ini menjelaskan sesuatu dengan menunjuk barangnya. Contoh: Ini gunting.
2)      Definisi Persuasif. Definisi yang mengandung pada anjuran (persuasif). Dalam definisi ini terkandung anjuran agar orang melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Contoh: ”Membunuh adalah tindakan menghabisi nyawa secara tidak terpuji”. Dalam definisi tersebut secara implisit terkandung anjuran agar orang tidak membunuh, karena tidak baik (berdosa menurut Agama apapun).
c)      Hipotesis
Dari konsep ilmiah yang merupakan pernyataan-pernyataan yang mengandung informasi, 2 (dua) pernyataan digabung menjadi proposisi. Proposisi yang perlu diuji kebenarannya disebut hipotesis.
d)     Hukum
Hipotesis yang sudah diuji kebenarannya disebut dalil atau hukum.
e)      Teori
Keseluruhan dalil-dalil atau hukum-hukum yang tidak bertentangan satu sama lain serta dapat menjelaskan fenomena disebut teori.

2)      Dapat dipertanggungjawabkan.
Ilmu pengetahuan ilmiah dapat dipertanggungjawabkan melalui 3 (tiga) macam sistem, yaitu:
a)      Sistem axiomatis
Sistem ini berusaha membuktikan kebenaran suatu fenomena atau gejala sehari-hari mulai dari kaidah atau rumus umum menuju rumus khusus atau konkret. Atau mulai teori umum menuju fenomena/gejala konkret. Cara ini disebut deduktif-nomologis. Umumnya yang menggunakan metode ini adalah ilmu-ilmu formal, misalnya matematika.
b)      Sistem empiris
Sistem ini berusaha membuktikan kebenaran suatu teori mulai dari gejala/ fenomena khusus menuju rumus umum atau teori. Jadi bersifat induktif dan untuk menghasilkan rumus umum digunakan alat bantu statistik. Umumnya yang menggunakan metode ini adalah ilmu pengetahuan alam dan sosial.
c)      Sistem semantik/linguistik
Dalam sistem ini kebenaran didapatkan dengan cara menyusun proposisi-proposisi secara ketat. Umumnya yang menggunakan metode ini adalah ilmu bahasa (linguistik).

3)      Objektif atau intersubjektif
Ilmu pengetahuan ilmiah itu bersifat mandiri atau milik orang banyak (intersubjektif). Ilmu pengetahuan ilmiah itu bersifat otonom dan mandiri, bukan milik perorangan (subjektif) tetapi merupakan konsensus antar subjek (pelaku) kegiatan ilmiah. Dengan kata lain ilmu pengetahuan ilmiah itu harus ditopang oleh komunitas ilmiah.

Cara Kerja Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Cara kerja Ilmu Pengetahuan Ilmiah untuk mendapatkan kebenaran oleh Karl Popper disebut Siklus Empiris, yang dapat digambarkan sebagai berikut:










 



























Gambar 6: Siklus Empiris
Sumber: Noerhadi T. H. (1998) Diktat Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Pascasarjana Universitas Indonesia.

Keterangan Gambar:
Gambar dapat dibedakan menjadi 2 (dua) komponen, yaitu:
1)      Komponen Informasi, yang terdiri dari:
a.       Problem
b.      Teori
c.       Hipotesis
d.      Observasi
e.       Generalisasi Empiris
Komponen Informasi digambarkan dengan kotak.
2)      Komponen langkah-langkah Metodologis, yang terdiri 6 (enam) langkah metodologis, yaitu:
a.       Inferensi logis
b.      Deduksi logis
c.       Interpretasi, instrumentasi, penetapan sampel, penyusun skala.
d.      Pengukuran, penyimpulan sampel, estimasi parameter.
e.       Pengujian hipotesis.
f.       Pembentukan konsep, pembentukan dan penyusunan proposisi.
Langkah Metodologis digambarkan dengan elips.

Penjelasan tentang langkah-langkah Metodologis adalah sebagai berikut:
  1. Langkah pertama. Ada masalah yang harus dipecahkan. Seluruh langkah ini (5 langkah) oleh Popper disebut Epistomology Problem Solving. Untuk pemecahan masalah tersebut diperlukan kajian pustaka (inferensi logis) guna mendapatkan teori-teori yang dapat digunakan untuk pemecahan masalah.
  2. Langkah kedua. Selanjutnya dari teori disusun hipotesis. Untuk menyusun hipotesis diperlukan metode deduksi logis.
  3. Langkah ketiga. Untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis perlu adanya observasi. Sebelum melakukan observasi perlu melakukan interpretasi teori yang digunakan sebagai landasan penyusunan hipotesis dalam penelitian adalah penyusunan kisi-kisi/dimensi-dimensi, kemudian penyusunan instrumen pengumpulan data, penetapan sampel dan penyusunan skala.
  4. Langkah keempat. Setelah observasi, selanjutnya melakukan pengukuran (assessment), penetapan sampel, estimasi kriteria (parameter estimation). Langkah tersebut dilakukan guna mendapatkan generalisasi empiris (empirical generalization).
  5. Langkah kelima. Generalisasi emperis tersebut pada hakekatnya merupakan hasil pembuktian hipotesis. Apabila hipotesis benar akan memperkuat teori (verifikasi). Apabila hipotesis tidak terbukti akan memperlemah teori (falsifikasi).
  6. Langkah keenam. Hasil dari generalisasi empiris tersebut dipergunakan sebagai bahan untuk pembentukan konsep, pembentukan proposisi. Pembentukan atau penyusunan proposisi ini dipergunakan untuk memperkuat atau memantapkan teori, atau menyusun teori baru apabila hipotesis tidak terbukti.
Gambar 7 : Karl Popper

2.   Beda Ilmu Pengetahuan dan Pengetahuan

a.       Pendahuluan
Ilmu pengetahuan (science) mempunyai pengertian yang berbeda dengan pengetahuan (knowledge atau dapat juga disebut common sense). Orang awam tidak memahami atau tidak menyadari bahwa ilmu pengetahuan itu berbeda dengan pengetahuan. Bahkan mugkin mereka menyamakan dua pengertian tersebut. Tentang perbedaan antara ilmu pengetahuan dan pengetahuan akan dicoba dibahas disini.
Mempelajari apa itu ilmu pengetahuan itu berarti mempelajari atau membahas esensi atau hakekat ilmu pengetahuan. Demikian pula membahas pengetahuan itu juga berarti membahas hakekat pengetahuan. Untuk itu kita perlu memahami serba sedikit Filsafat Ilmu Pengetahuan. Dengan mempelajari Filsafat Ilmu Pengetahuan di samping akan diketahui hakekat ilmu pengetahuan dan hakekat pengetahuan, kita tidak akan terbenam dalam suatu ilmu yang spesifik sehingga makin menyempit dan eksklusif. Dengan mempelajari filsafat ilmu pengetahuan akan membuka perspektif (wawasan) yang luas, sehingga kita dapat menghargai ilmu-ilmu lain, dapat berkomunikasi dengan ilmu-ilmu lain. Dengan demikian kita dapat mengembangkan ilmu pengetahuan secara interdisipliner. Sebelum kita membahas hakekat ilmu pengetahuan dan perbedaannya dengan pengetahuan, terlebih dahulu akan dikemukakan serba sedikit tentang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan.

b.      Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Mempelajari sejarah ilmu pengetahuan itu penting, karena dengan mempelajari hal tersebut kita dapat mengetahui tahap-tahap perkembangannya. Ilmu pengetahuan tidak langsung terbentuk begitu saja, tetapi melalui proses, melalui tahap-tahap atau periode-periode perkembangan.
a)      Periode Pertama (abad 4 sebelum Masehi)
Perintisan “Ilmu pengetahuan” dianggap dimulai pada abad 4 sebelum Masehi, karena peninggalan-peninggalan yang menggambarkan ilmu pengetahuan diketemukan mulai abad 4 sebelum Masehi. Abad 4 sebelum Masehi merupakan abad terjadinya pergeseran dari persepsi mitos ke persepsi logos, dari dongeng-dongeng ke analisis rasional. Contoh persepsi mitos adalah pandangan yang beranggapan bahwa kejadian-kejadian misalnya adanya penyakit atau gempa bumi disebabkan perbuatan dewa-dewa. Jadi pandangan tersebut tidak bersifat rasional, sebaliknya persepsi logos adalah pandangan yang bersifat rasional. Dalam persepsi mitos, dunia atau kosmos dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan magis, mistis. Atau dengan kata lain, dunia dijelaskan oleh faktor-faktor luar (eksternal). Sedang dalam persepsi rasional, dunia dianalisis dari faktor-faktor dalam (internal). Atau dengan kata lain, dunia dianalisis dengan argumentasi yang dapat diterima secara rasional atau akal sehat. Analisis rasional ini merupakan perintisan analisis secara ilmiah, tetapi belum dapat dikatakan ilmiah.
Pada periode ini tokoh yang terkenal adalah Aristoteles. Persepsi Aristoteles tentang dunia adalah sebagai berikut: dunia adalah ontologis atau ada (eksis). Sebelum Aristoteles dunia dipersepsikan tidak eksis, dunia hanya menumpang keberadaan dewa-dewa. Dunia bukan dunia riil, yang riil adalah dunia ide. Menurut Aristoteles, dunia merupakan substansi, dan ada hirarki substansi-substansi. Substansi adalah sesuatu yang mandiri, dengan demikian dunia itu mandiri. Setiap substansi mempunyai struktur ontologis. Dalam struktur ontologis terdapat 2 prinsip, yaitu: 1) Akt: menunjukkan prinsip kesempurnaan (realis); 2) Potensi: menunjukkan prinsip kemampuannya, kemungkinannya (relatif). Setiap benda sempurna dalam dirinya dan mempunyai kemungkinan untuk mempunyai kesempurnaan. Perubahan terjadi bila potensi berubah, dan perubahan tersebut direalisasikan.
Gambar 8 : Aristoteles

Pandangan Aristoteles yang dapat dikatakan sebagai awal dari perintisan “ilmu pengetahuan” adalah hal-hal sebagai berikut:
1)      Hal Pengenalan
Menurut Aristoteles terdapat dua macam pengenalan, yaitu:                 (1) pengenalan inderawi; (2) pengenalan rasional. Menurut Aristoteles, pengenalan inderawi memberi pengetahuan tentang hal-hal yang kongkrit dari suatu benda. Sedang pengenalan rasional dapat mencapai hakekat sesuatu, melalui jalan abstraksi.
2)      Hal Metode
Selanjutnya, menurut Aristoteles, “ilmu pengetahuan” adalah pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau hukum-hukum bukan objek-objek eksternal atau fakta. Penggunaan prinsip atau hukum berarti berargumentasi (reasoning). Menurut Aristoteles, mengembangkan “ilmu pengetahuan” berarti mengembangkan prinsip-prinsip, mengembangkan “ilmu pengetahuan” (teori) tidak terletak pada akumulasi data tetapi peningkatan kualitas teori dan metode. Selanjutnya, menurut Aristoteles, metode untuk mengembangkan “ilmu pengetahuan” ada dua, yaitu: (1) induksi intuitif yaitu mulai dari fakta untuk menyusun hukum (pengetahuan universal); (2) deduksi (silogisme) yaitu mulai dari pengetahuan universal menuju fakta-fakta.

b)      Periode Kedua (abad 17 sesudah Masehi)
Pada periode yang kedua ini terjadi revolusi ilmu pengetahuan karena adanya perombakan total dalam cara berpikir. Perombakan total tersebut adalah sebagai berikut:
Apabila Aristoteles cara berpikirnya bersifat ontologis rasional, Gallileo Gallilei (tokoh pada awal abad 17 sesudah Masehi) cara berpikirnya bersifat analisis yang dituangkan dalam bentuk kuantitatif atau matematis. Yang dimunculkan dalam berfikir ilmiah Aristoteles adalah berpikir tentang hakekat, jadi berpikir metafisis (apa yang berada di balik yang nampak atau apa yang berada di balik fenomena).
Gambar 9 : Gallileo Gallilei
Abad 17 meninggalkan cara berpikir metafisis dan beralih ke elemen-elemen yang terdapat pada sutau benda, jadi tidak mempersoalkan hakikat. Dengan demikian bukan substansi tetapi elemen-elemen yang merupakan kesatuan sistem. Cara berpikir abad 17 mengkonstruksi suatu model yaitu memasukkan unsur makro menjadi mikro, mengkonstruksi suatu model yang dapat diuji coba secara empiris, sehingga memerlukan adanya laboratorium. Uji coba penting, untuk itu harus membuat eksperimen. Ini berarti mempergunakan pendekatan matematis dan pendekatan eksperimental. Selanjutnya apabila pada jaman Aristoteles ilmu pengetahuan bersifat ontologis, maka sejak abad 17, ilmu pengetahuan berpijak pada prinsip-prinsip yang kuat yaitu jelas dan terpilah-pilah (clearly and distinctly) serta disatu pihak berpikir pada kesadaran, dan pihak lain berpihak pada materi. Prinsip jelas dan terpilah-pilah dapat dilihat dari pandangan Rene Descartes (1596-1650) dengan ungkapan yang terkenal, yaitu Cogito Ergo Sum, yang artinya karena aku berpikir maka aku ada. Ungkapan Cogito Ergo Sum adalah sesuatu yang pasti, karena berpikir bukan merupakan khayalan. Suatu yang pasti adalah jelas dan terpilah-pilah. Menurut Descartes pengetahuan tentang sesuatu bukan hasil pengamatan melainkan hasil pemeriksaan rasio (dalam Hadiwijono, 1981). Pengamatan merupakan hasil kerja dari indera (mata, telinga, hidung, dan lain sebagainya), oleh karena itu hasilnya kabur, karena ini sama dengan pengamatan binatang. Untuk mencapai sesuatu yang pasti menurut Descartes kita harus meragukan apa yang kita amati dan kita ketahui sehari-hari. Pangkal pemikiran yang pasti menurut Descartes dikemukakan melalui keragu-raguan. Keragu-raguan menimbulkan kesadaran, kesadaran ini berada di samping materi. Prinsip ilmu pengetahuan satu pihak berpikir pada kesadaran dan pihak lain berpijak pada materi juga dapat dilihat dari pandangan Immanuel Kant (1724-1808). Menurut Immanuel Kant ilmu pengetahuan itu bukan merupakan pangalaman terhadap fakta saja, tetapi merupakan hasil konstruksi oleh rasio.












Gambar 10 : Rene Descartes

Agar dapat memahami pandangan Immanuel Kant tersebut perlu terlebih dahulu mengenal pandangan rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme mementingkan unsur-unsur apriori dalam pengenalan, berarti unsur-unsur yang terlepas dari segala pengalaman. Sedangkan empirisme menekankan unsur-unsur aposteriori, berarti unsur-unsur yang berasal dari pengalaman. Menurut Immanuel Kant, baik rasionalisme maupun empirisme dua-duanya berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan keterpaduan atau sintesa antara unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori (dalam Bertens, 1975). Oleh karena itu Kant berpendapat bahwa pengenalan berpusat pada subjek dan bukan pada objek. Sehingga dapat dikatakan menurut Kant ilmu pengetahuan bukan hasil pengalaman saja, tetapi hasil konstruksi oleh rasio.
Inilah pandangan Rene Descartes dan Immanuel Kant yang menolak pandangan Aristoteles yang bersifat ontologis dan metafisis. Banyak tokoh lain yang meninggalkan pandangan Aristoteles, namun dalam makalah ini cukup mengajukan dua tokoh tersebut, kiranya cukup untuk menggambarkan adanya pemikiran yang revolusioner dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

c.       Perbedaan Ilmu Pengetahuan dengan Pengetahuan

Terdapat beberapa definisi ilmu pengetahuan, di antaranya adalah:
a)      Ilmu pengetahuan adalah penguasaan lingkungan hidup manusia.
Definisi ini tidak diterima karena mencampuradukkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
b)      Ilmu pengetahuan adalah kajian tentang dunia material.
Definisi ini tidak dapat diterima karena ilmu pengetahuan tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat materi.
c)      Ilmu pengetahuan adalah definisi eksperimental.
Definisi ini tidak dapat diterima karena ilmu pengetahuan tidak hanya hasil/metode eksperimental semata, tetapi juga hasil pengamatan, wawancara. Atau dapat dikatakan definisi ini tidak memberikan tali pengikat yang kuat untuk menyatukan hasil eksperimen dan hasil pengamatan (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995).
d)     Ilmu pengetahuan dapat sampai pada kebenaran melalui kesimpulan logis dari pengamatan empiris.
Definisi ini mempergunakan metode induksi yaitu membangun prinsip-prinsip umum berdasarkan berbagai hasil pengamatan. Definisi ini memberikan tempat adanya hipotesa, sebagai ramalan akan hasil pengamatan yang akan datang. Definisi ini juga mengakui pentingnya pemikiran spekulatif atau metafisik selama ada kesesuaian dengan hasil pengamatan. Namun demikian, definisi ini tidak bersifat hitam atau putih. Definisi ini tidak memberi tempat pada pengujian pengamatan dengan penelitian lebih lanjut.
Kebenaran yang disimpulkan dari hasil pengamatan empiris hanya berdasarkan kesimpulan logis berarti hanya berdasarkan kesimpulan akal sehat. Apabila kesimpulan tersebut hanya merupakan akal sehat, walaupun itu berdasarkan pengamatan empiris, tetap belum dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan tetapi masih pada taraf pengetahuan. Ilmu pengetahuan bukanlah hasil dari kesimpulan logis dari hasil pengamatan, namun haruslah merupakan kerangka konseptual atau teori yang memberi tempat bagi pengkajian dan pengujian secara kritis oleh ahli-ahli lain dalam bidang yang sama, dengan demikian diterima secara universal. Ini berarti terdapat adanya kesepakatan di antara para ahli terhadap kerangka konseptual yang telah dikaji dan diuji secara kritis atau telah dilakukan penelitian atau percobaan terhadap kerangka konseptual tersebut.
Berdasarkan pemahaman tersebut maka pandangan yang bersifat statis ekstrim, maupun yang bersifat dinamis ekstrim harus kita tolak. Pandangan yang bersifat statis ekstrim menyatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan cara menjelaskan alam semesta di mana kita hidup. Ini berarti ilmu pengetahuan dianggap sebagai pabrik pengetahuan. Sementara pandangan yang bersifat dinamis ekstrim menyatakan ilmu pengetahuan merupakan kegiatan yang menjadi dasar munculnya kegiatan lebih lanjut. Jadi ilmu pengetahuan dapat diibaratkan dengan suatu laboratorium. Bila kedua pandangan ekstrim tersebut diterima, maka ilmu pengetahuan akan hilang musnah, ketika pabrik dan laboratorium tersebut ditutup.
Ilmu pengetahuan bukanlah kumpulan pengetahuan semesta alam atau kegiatan yang dapat dijadikan dasar bagi kegiatan yang lain, tetapi merupakan teori, prinsip, atau dalil yang berguna bagi pengembangan teori, prinsip, atau dalil lebih lanjut, atau dengan kata lain untuk menemukan teori, prinsip, atau dalil baru. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dapat didefinisikan sebagai berikut:
Ilmu pengetahuan adalah rangkaian konsep dan kerangka konseptual yang saling berkaitan dan telah berkembang sebagai hasil percobaan dan pengamatan yang bermanfaat untuk percobaan lebih lanjut (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995). Pengertian percobaan di sini adalah pengkajian atau pengujian terhadap kerangka konseptual, ini dapat dilakukan dengan penelitian (pengamatan dan wawancara) atau dengan percobaan (eksperimen).
Selanjutnya John Ziman menjelaskan bahwa definisi tersebut memberi tekanan pada makna manfaat, mengapa? Kesahihan gagasan baru dan makna penemuan eksperimen baru atau juga penemuan penelitian baru (menurut penulis) akan diukur hasilnya yaitu hasil dalam kaitan dengan gagasan lain dan eksperimen lain. Dengan demikian ilmu pengetahuan tidak dipahami sebagai pencarian kepastian, melainkan sebagai penyelidikan yang berhasil hanya sampai pada tingkat yang bersinambungan (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995).
Bila kita analisis lebih lanjut perlu dipertanyakan mengapa definisi ilmu pengetahuan di atas menekankan kemampuannya untuk menghasilkan percobaan baru, berarti juga menghasilkan penelitian baru yang pada gilirannya menghasilkan teori baru dan seterusnya – berlangsung tanpa berhenti. Mengapa ilmu pengetahuan tidak menekankan penerapannya? Seperti yang dilakukan para ahli fisika dan kimia yang hanya menekankan pada penerapannya yaitu dengan mempertanyakan bagaimana alam semesta dibentuk dan berfungsi? Bila hanya itu yang menjadi penekanan ilmu pengetahuan, maka apabila pertanyaan itu sudah terjawab, ilmu pengetahuan itu akan berhenti. Oleh karena itu, definisi ilmu pengetahuan tidak berorientasi pada penerapannya melainkan pada kemampuannya untuk menghasilkan percobaan baru atau penelitian baru, dan pada gilirannya menghasilkan teori baru.
Para ahli fisika dan kimia yang menekankan penerapannya pada hakikatnya bukan merupakan ilmu pengetahuan, tetapi merupakan akal sehat (common sense). Selanjutnya untuk membedakan hasil akal sehat dengan ilmu pengetahuan William James yang menyatakan hasil akal sehat adalah sistem perseptual, sedang hasil ilmu pengetahuan adalah sistem konseptual (Conant J. B. dalam Qadir C. A., 1995). Kemudian bagaimana cara untuk memantapkan atau mengembangkan ilmu pengetahuan? Berdasarkan definisi ilmu pengetahuan tersebut di atas maka pemantapan dilakukan dengan penelitian-penelitian dan percobaan-percobaan.
Perlu dipertanyakan pula bagaimana hubungan antara akal sehat yang menghasilkan perseptual dengan ilmu pengetahuan sebagai konseptual. Jawabannya adalah akal sehat yang menghasilkan pengetahuan merupakan premis bagi pengetahuan eksperimental (Conant, J.B. dalam Qadir C.A., 1995). Ini berarti pengetahuan merupakan masukan bagi ilmu pengetahuan, masukan tersebut selanjutnya diterima sebagai masalah untuk diteliti lebih lanjut. Hasil penelitian dapat berbentuk teori baru.
Sedangkan Ernest Nagel secara rinci membedakan pengetahuan (common sense) dengan ilmu pengetahuan (science).
Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
1)      Dalam common sense informasi tentang suatu fakta jarang disertai penjelasan tentang mengapa dan bagaimana. Common sense tidak melakukan pengujian kritis hubungan sebab-akibat antara fakta yang satu dengan fakta lain. Sedang dalam science di samping diperlukan uraian yang sistematik, juga dapat dikontrol dengan sejumlah fakta sehingga dapat dilakukan pengorganisasian dan pengklarifikasian berdasarkan prinsip-prinsip atau dalil-dalil yang berlaku.
2)      Ilmu pengetahuan menekankan ciri sistematik.
Penelitian ilmiah bertujuan untuk mendapatkan prinsip-prinsip yang mendasar dan berlaku umum tentang suatu hal. Artinya dengan berpedoman pada teori-teori yang dihasilkan dalam penelitian-penelitian terdahulu, penelitian baru bertujuan untuk menyempurnakan teori yang telah ada yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sedang common sense tidak memberikan penjelasan (eksplanasi) yang sistematis dari berbagai fakta yang terjalin. Di samping itu, dalam common sense cara pengumpulan data  bersifat subjektif, karena common sense sarat dengan muatan-muatan emosi dan perasaan.
3)      Dalam menghadapi konflik dalam kehidupan, ilmu pengetahuan menjadikan konflik sebagai pendorong untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan berusaha untuk mencari, dan mengintroduksi pola-pola eksplanasi sistematik sejumlah fakta untuk mempertegas aturan-aturan. Dengan menunjukkan hubungan logis dari proposisi yang satu dengan lainnya, ilmu pengetahuan tampil mengatasi konflik.
4)      Kebenaran yang diakui oleh common sense bersifat tetap, sedang kebenaran dalam ilmu pengetahuan selalu diusik oleh pengujian kritis. Kebenaran dalam ilmu pengetahuan selalu dihadapkan pada pengujian melalui observasi maupun eksperimen dan sewaktu-waktu dapat diperbaharui atau diganti.
5)      Perbedaan selanjutnya terletak pada segi bahasa yang digunakan untuk memberikan penjelasan pengungkapan fakta. Istilah dalam common sense biasanya mengandung pengertian ganda dan samar-samar. Sedang ilmu pengetahuan merupakan konsep-konsep yang tajam yang harus dapat diverifikasi secara empirik.
6)      Perbedaan yang mendasar terletak pada prosedur.
Ilmu pengetahuan berdasar pada metode ilmiah. Dalam ilmu pengetahuan alam (sains), metoda yang dipergunakan adalah metoda pengamatan, eksperimen, generalisasi, dan verifikasi. Sedang ilmu sosial dan budaya juga menggunakan metode pengamatan, wawancara, eksperimen, generalisasi, dan verifikasi. Dalam common sense cara mendapatkan pengetahuan hanya melalui pengamatan dengan panca indera.
Gambar 11 : Ernest Nagel

Dari berbagai uraian berdasarkan pandangan tokoh-tokoh tersebut dapatlah dikatakan: ilmu pengetahuan adalah kerangka konseptual atau teori uang saling berkaitan yang memberi tempat pengkajian dan pengujian secara kritis dengan metode ilmiah oleh ahli-ahli lain dalam bidang yang sama, dengan demikian bersifat sistematik, objektif, dan universal.
Sedang pengetahuan adalah hasil pengamatan yang bersifat tetap, karena tidak memberikan tempat bagi pengkajian dan pengujian secara kritis oleh orang lain, dengan demikian tidak bersifat sistematik dan tidak objektif serta tidak universal.

d.      Proses Terbentuknya Ilmu Pengetahuan
a)      Syarat-syarat Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Agar dapat diuraikan proses terbentuknya ilmu pengetahuan ilmiah, perlu terlebih dahulu diuraikan syarat-syarat ilmu pengetahuan ilmiah.
Menurut Karlina Supeli Laksono dalam Filsafat Ilmu Pengetahuan (Epsitomologi) pada Pascasarjana Universitas Indonesia tahun 1998/1999, ilmu pengetahuan ilmiah harus memenuhi tiga syarat, yaitu:
1)      Sistematik; yaitu merupakan kesatuan teori-teori yang tersusun sebagai suatu sistem.
2)      Objektif; atau dikatakan pula sebagai intersubjektif, yaitu teori tersebut terbuka untuk diteliti oleh orang lain/ahli lain, sehingga hasil penelitian bersifat universal.
3)      Dapat dipertanggungjawabkan; yaitu mengandung kebenaran yang bersifat universal, dengan kata lain dapat diterima oleh orang-orang lain/ahli-ahli lain. Tiga syarat ilmu pengetahuan tersebut telah diuraikan secara lengkap pada sub bab di atas.

Pandangan ini sejalan dengan pandangan Parsudi Suparlan yang menyatakan bahwa Metode Ilmiah adalah suatu kerangka landasan bagi terciptanya pengetahuan ilmiah. Selanjutnya dinyatakan bahwa penelitian ilmiah dilakukan dengan berlandaskan pada metode ilmiah. Sedangkan penelitian ilmiah harus dilakukan secara sistematik dan objektif (Suparlan P., 1994). Penelitian ilmiah sebagai pelaksanaan metode ilmiah harus sestematik dan objektif, sedang metode ilmiah merupakan suatu kerangka bagi terciptanya ilmu pengetahuan ilmiah. Maka jelaslah bahwa ilmu pengetahuan juga mempersyaratkan sistematik dan objektif.
Sebuah teori pada dasarnya merupakan bagian utama dari metode ilmiah. Suatu kerangka teori menyajikan cara-cara mengorganisasikan dan menginterpretasi-kan hasil-hasil penelitian, dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang dibuat sebelumnya. Jadi peranan metode ilmiah adalah untuk menghubungkan penemuan-penemuan ilmiah dari waktu dan tempat yang berbeda. Ini berarti peranan metode ilmiah melandasi corak pengetahuan ilmiah yang sifatnya akumulatif. Dari uraian tersebut di atas dapatlah dikatakan bahwa proses terbentuknya ilmu pengetahuan ilmiah melalui metode ilmiah yang dilakukan dengan penelitian-penelitian ilmiah.
Pembentukan ilmu pengetahuan ilmiah pada dasarnya merupakan bagian yang penting dari metode ilmiah. Suatu ilmu pengetahuan ilmiah menyajikan cara-cara pengorganisasian dan penginterpretasian hasil-hasil penelitian, dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang dibuat sebelumnya oleh peneliti lain. Ini berarti bahwa ilmu pengetahuan ilmiah merupakan suatu proses akumulasi dari pengetahuan. Di sini peranan metode ilmiah penting yaitu menghubungkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah dari waktu dan tempat yang berbeda. Walaupun dalam ilmu pengetahuan alam (sains) metode ilmiah menekankan metode induktif guna mengadakan generalisasi atas fakta-fakta khusus dalam rangka penelitian, penciptaan teori dan verifikasi, tetapi dalam ilmu-ilmu sosial, baik metode induktif maupun deduktif sama-sama penting. Walaupun fakta-fakta empirik itu penting peranannya dalam metode ilmiah namun kumpulan fakta itu sendiri tidak menciptakan teori atau ilmu pengetahuan (Suparlan P., 1994). Jadi jelaslah bahwa ilmu pengetahuan bukan merupakan kumpulan pengetahuan atau kumpulan fakta-fakta empirik. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena fakta-fakta empirik itu sendiri agar mempunyai makna, fakta-fakta tersebut harus ditata, diklasifikasi, dianalisis, digeneralisasi berdasarkan metode yang berlaku serta dikaitkan dengan fakta yang satu dengan yang lain.
Dalam ilmu-ilmu sosial prinsip objektivitas merupakan prinsip utama dalam metode ilmiahnya. Hal ini disebabkan ilmu sosial berhubungan dengan kegiatan manusia sebagai mahluk sosial dan budaya sehingga tidak terlepas adanya hubungan perasaan dan emosional antara peneliti dengan pelaku yang diteliti.
Untuk menjaga objektivitas metode ilmiah dalam ilmu-ilmu sosial berlaku prinsip-prinsip sebagai berikut:
a)      Ilmuwan harus mendekati sasaran kajiannya dengan penuh keraguan dan skeptis.
b)      Ilmuwan harus objektif yaitu membebaskan dirinya dari sikap, keinginan, kecenderungan untuk menolak, atau menyukai data yang dikumpulkan.
c)      Ilmuwan harus bersikap netral, yaitu dalam melakukan penilaian terhadap hasil penemuannya harus terbebas dari nilai-nilai budayanya sendiri. Demikian pula dalam membuat kesimpulan atas data yang dikumpulkan jangan dianggap sebagai data akhir, mutlak, dan merupakan kebenaran universal (Suparlan P., 1994).
Sedang pelaksanaan penelitian yang berpedoman pada metode ilmiah hendaknya memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a)      Prosedur penelitian harus terbuka untuk diperiksa oleh peneliti lainnya.
b)      Definisi-definisi yang dibuat adalah benar dan berdasarkan konsep-konsep dan teori-teori yang sudah ada/baku.
c)      Pengumpulan data dilakukan secara objektif, yaitu dengan menggunakan metode-metode penelitian ilmiah yang baku.
d)     Hasil-hasil penemuannya akan ditentukan ulang oleh peneliti lain bila sasaran, masalah, pendekatan, dan prosedur penelitiannya sama (Suparlan P., 1994).

b)      Metode Penelitian Ilmiah
Pada dasarnya metode penelitian ilmiah untuk ilmu-ilmu sosial dapat dibedakan menjadi dua golongan pendekatan, yaitu: (1) pendekatan kuantitatif; (2) pendekatan kualitatif.
1)      Pendekatan Kuantitatif
Landasan berpikir dari pendekatan kuantitatif adalah filsafat positivisme yang dikembangkan pertama kali oleh Emile Durkheim (1964). Pandangan dari filsafat positivisme ini yaitu bahwa tindakan-tindakan manusia terwujud dalam gejala-gejala sosial yang disebut fakta-fakta sosial. Fakta-fakta sosial tersebut harus dipelajari secara objektif, yaitu dengan memandangnya sebagai benda, seperti benda dalam ilmu pengetahuan alam.
Gambar 12 : Emile Durkheim
Caranya dengan melakukan observasi atau mengamati sesuatu fakta sosial, untuk melihat kecenderungan-kecenderungannya, menghubungkan dengan fakta-fakta sosial lainnya, dengan demikian kecenderungan-kecenderungan suatu fakta sosial tersebut dapat diidentifikasi. Penggunaan data kuantitatif diperlukan dalam analisa yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya demi tercapainya ketepatan data dan ketepatan penggunaan model hubungan variabel bebas dan variabel tergantung (Suparlan P., 1997).
2)      Pendekatan Kualitatif
Landasan berpikir dalam pendekatan kualitatif adalah pemikiran Max Weber (1997) yang menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan hanya gejala-gejala sosial, tetapi juga dan terutama makna-makna yang terdapat di balik tindakan-tindakan perorangan yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial tersebut. Oleh karena itu, metode yang utama dalam sosiologi dari Max Weber adalah Verstehen atau pemahaman (jadi bukan Erklaren atau penjelasan). Agar dapat memahami makna yang ada dalam suatu gejala sosial, maka seorang peneliti harus dapat berperan sebagai pelaku yang ditelitinya, dan harus dapat memahami para pelaku yang ditelitinya agar dapat mencapai tingkat pemahaman yang sempurna mengenai makna-makna yang terwujud dalam gejala-gejala sosial yang diamatinya (Suparlan P., 1997).
Gambar 13 : Max Weber